18 Oktober 1992: Gunung Papandayan Jadi Saksi Bisu Petaka Pesawat Merpati Nusantara Airlines MZ5601 yang Menewaskan 31 Orang
Liputan6.com, Jakarta – Sejarah dunia mencatat, hari ini 32 tahun lalu terjadi kecelakaan pesawat yang memakan korban jiwa di Indonesia.
Saat itu, Gunung Puntang yang berada di gugusan Gunung Papandayan menjadi saksi bisu musibah yang menimpa maskapai penerbangan domestik Merpati Nusantara Airlines Penerbangan 5601 yang dijadwalkan lepas landas pada Minggu, 18 Oktober 1992 sore.
Situs asn.flightsafety.org menyebutkan penerbangan naas itu berangkat dari Bandara Internasional Achmad Yani menuju Bandara Internasional Husein Sastranegara. CASA/IPTN CN-235-10 berusia dua tahun dalam perjalanan jatuh di sisi barat Gunung Papandayan, Jawa Barat, Indonesia pada pukul 13:30 UTC dalam cuaca buruk.
Merpati Nusantara Airlines Penerbangan MZ5601 dalam perjalanan dari Semarang ke Bandung jatuh di Gunung Papandayan, Indonesia, menewaskan 31 penumpang: 27 penumpang dan empat awak.
Pesawat penumpang produksi Industri Pesawat Terbang Indonesia (IPTN) tersebut hancur saat terbang ke sisi Gunung Papandayan, gunung berapi yang masih aktif.
Saat pesawat dengan registrasi penerbangan PK-MNN lepas landas, cuaca di dekat Bandung sedang buruk dengan awan cumulonimbus di sekitarnya. Penerbangan diturunkan dari FL125 ke FL080 menuju Bandung dan pilot bersiap untuk pendekatan visual.
Berdasarkan laporan, pilot berusaha menghindari awan cumulonimbus dan berbelok ke kiri, ke selatan menuju Garut. Awan menutup saat pesawat menabrak lereng gunung di ketinggian 6.120 kaki.
Nasib naas Merpati Nusantara Airlines Penerbangan MZ5601 kemudian tercatat sebagai bencana penerbangan sipil terburuk yang melibatkan CASA/IPTN CN-235 pada saat itu.
Selain itu juga merupakan kecelakaan terburuk ke-22 tahun 1992 dan kecelakaan pesawat terburuk ke-2 jenis CASA/IPTN CN-235.
Beberapa sumber menyebutkan, saat Merpati Nusantara Airlines penerbangan MZ5601 lepas landas pada Minggu sore, 18 Oktober 1992, cuaca di Bandara Jenderal Ahmad Yani, Semarang, Jawa Tengah, sangat cerah. Oleh karena itu, tak heran jika pesawat CN-235 Merpati Nusantara Airlines registrasi PK-MNN dengan nomor penerbangan MZ5601 rute Semarang-Bandung berangkat sesuai jadwal: dari Semarang pukul 13.05 WIB dan dijadwalkan tiba di Bandung pukul 14.00 WIB. . .
Nyaris tidak ada masalah berarti pada pesawat yang membawa 27 penumpang dan 3 awak tersebut setelah mantap mengudara. Hingga saat itu, pilot Kapten Fierda Panggabean dan co-pilot Adnan S Paago melakukan kontak saat pesawat berada di sekitar Cirebon, Jawa Barat.
Penghormatan melalui gelombang radio dari belakang kokpit pesawat ke menara Bandara Husein Sastranegara Bandung terjadi sekitar pukul 13.35 WIB. Dalam kontak radio tersebut, pilot Fierda Basaria Panggabean, 29, melaporkan pesawatnya berada di atas Cirebon pada ketinggian 12.500 kaki (4.144 meter). Trangadi, demikian nama pesawat Merpati, diperkirakan siap mendarat di Bandung 21 menit kemudian.
Cuaca di Bandung saat itu kurang menyenangkan. Sumardi, petugas APP (Approach Control Office) Husein Sastranegara menginformasikan kepada Pilot Fierda bahwa hujan turun disertai petir. Awan berkeliaran meski tidak terlalu tebal, namun penglihatan visual mencapai jarak 4-5 km.
“Pertahankan satu dua lima,” Sumardi berpesan kepada Fierda agar ketinggian pesawat tetap di 12.500 kaki.
Bagi pilot dengan pengalaman terbang 6.000 jam seperti Fierda, cuaca Bandung saat itu mungkin tidak terlalu memprihatinkan. Nah, sepengetahuan APP di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Fierda turun ke Trangadi di ketinggian 8.500 kaki (2.833 meter).
Ia melaporkan manuver tersebut ke Bandung pada pukul 13.40 dan memutuskan untuk mendarat dengan pendekatan visual, mengandalkan penglihatan. Sumardi mempersilakan pilot Fierda kembali membuka kontak setelah Trangadi melihat ujung landasan Bandara Husein.
Saat itu Fierda menghubungi Menara Husein untuk meminta izin turun dari ketinggian 12.500 kaki ke ketinggian 8.500 kaki, kata Humas Merpati Ilyas Jufrie.
Namun, tidak pernah ada kontak lebih lanjut setelah itu. CN-235 Merpati Nusantara Airlines hilang kontak. Pejabat APP Husein Sastranegara belum mengetahui apa yang terjadi di sebelah pesawat tersebut.
Sementara itu, warga Desa Cigunung, Desa Cipaganti, Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut lebih memilih tinggal di rumahnya masing-masing, saat itu hanya ada beberapa orang yang lalu lalang. Maklum, cuaca saat itu sedang hujan disertai kabut tebal.
Sekitar pukul 14.00 WIB terdengar ledakan keras, warga sekitar saat itu tidak terlalu curiga dengan asal usul suara ledakan. Baru keesokan harinya atau 20 jam setelah pesawat hilang kontak, warga baru mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Trangadi tidak pernah sampai ke Bandung. Pesawat naas CN 235 itu mengakhiri perjalanannya secara tragis di Gunung Puntang di ketinggian 2.040 meter, sekitar 60 km tenggara Bandung.
Pesawat Merpati ditemukan tepatnya di Blok Barukaso Pasir Uji, Desa Cipaganti, Kecamatan Cisurupan, Garut, sekitar 80 km dari Kota Bandung, di Kawasan Cluster Gunung Papandayan.
Badan pesawat pecah dan terbakar. Sebanyak 31 penumpang, termasuk awak pesawat, tewas. Badan pesawat tersangkut di gunung. Kedua sayap pesawat tampak terlipat, sedangkan hanya ekornya yang tampak utuh.
Tim SAR menemukan jasad Fierda yang hangus, dengan kedua tangannya masih memegang gagang kemudi pesawat. Meka Fitriyani, 9, tewas dalam pelukan ibunya. Seorang penumpang terlempar 20 meter dari pesawat akibat benturan keras. Dia hanya cukup beruntung bisa lolos dari api, tapi tidak mati.
Di sekitar lokasi jatuhnya pesawat, pepohonan menghitam akibat hembusan api dari pesawat. Hingga petugas tiba di lokasi kejadian Senin sore, asap sisa pembakaran pesawat terus membubung ke udara.
Lokasi jatuhnya pesawat cukup sulit dijangkau karena terletak di antara dua lereng yang sangat curam. Petugas yang ingin mengevakuasi korban harus berjalan kaki selama tiga jam mendaki gunung yang agak terjal.
Jenazah beberapa korban tampak hangus terbakar, sedangkan korban lainnya tampak tidak utuh. Namun berkat kerja keras Tim SAR, seluruh jenazah korban bisa dievakuasi.
Saat mengevakuasi korban, kotak hitam pesawat juga dapat ditemukan. Penyebab kecelakaan menurut analisis black box adalah jatuhnya pesawat CN-235 karena cuaca buruk dan sedikit human error.
Faktor human error karena pilot tidak segera mengembalikan posisi pesawatnya ke jalur penerbangan semula, setelah membelokkan pesawat ke rute lain, kata Direktur Jenderal Penerbangan Sipil Zainuddin Sikado.
Kesimpulan tersebut merupakan hasil analisis kotak hitam pesawat yang diperiksa oleh National Transport Safety Board (NTSB) dan Federal Aviation Administration (FAA), dua badan resmi yang berbasis di Amerika Serikat.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan data Cockpit Voice Recorder (CVR) dan Flight Data Recorder (FDR) yang berisi percakapan antara pilot dan tower, serta antara pilot dan co-pilot.
Menurut dia, selepas keberangkatan dari Semarang dinyatakan cuaca dan kondisi pesawat yang dipiloti Fierda baik dan tidak ada kendala teknis serta akan menerbangi rute yang ditentukan.
Namun saat melewati Cirebon dalam lintasan 261 derajat, pilot meminta turun dari ketinggian 12.500 kaki hingga 8.500 kaki. Pilot juga membelokkan pesawat ke selatan hingga 240 derajat.
Pilot Fierda pun memutuskan untuk terbang secara visual tanpa mengendalikan peralatan navigasi dan hanya mengandalkan penglihatan. Perubahan haluan pesawat dimaksudkan untuk menghindari awan gelap tebal di Route 261.
Ternyata saat pesawat menuju ke selatan, kondisi cuaca juga lebih buruk, kecepatan angin diperkirakan mencapai 25-40 knot per jam, sehingga kecepatan pesawat dengan kode penerbangan MZ5601 bertambah, kata Zainuddin.
Zainuddin mengatakan, setelah pesawat berbelok, sebaiknya segera kembali ke jalur semula (261). Namun hal itu urung dilakukan pilot dan butuh waktu lama hingga pembicaraan dengan menara Bandung terhenti pada pukul 13.42 WIB.
Kemungkinan pilot masih berusaha mencari jalan keluar dari cuaca buruk tersebut, kata Zainuddin.
Setelah tragedi kecelakaan CN-235, Merpati Airlines mendirikan tugu peringatan kecelakaan CN-235. 31 korban tragedi kecelakaan udara Merpati tertulis di monumen tersebut. Jalan menuju Desa Cipaganti kemudian diabadikan dengan nama Jalan Merpati sebagai bentuk kenangan.
Kecelakaan pesawat ini kemudian masuk dalam daftar tragedi terparah dalam sejarah kecelakaan pesawat di Indonesia.