Pasar Avtur Indonesia Tidak Dimonopoli, Begini Datanya
thedesignweb.co.id, Jakarta PT Pertamina Patra Niaga disebut-sebut memonopoli pendistribusian avtur ke maskapai penerbangan. Faktanya, banyak perusahaan yang teridentifikasi sebagai produsen avtur.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, menjelaskan pasar monopoli diartikan sebagai kondisi pasar dimana hanya satu penjual yang menguasai pasar. Di pasar monopoli, tidak ada produk serupa lainnya dan perusahaan tidak memiliki pesaing.
Mengacu pada teori tersebut, ia berpendapat bahwa pelaku monopoli akan bertindak sebagai penerima harga atau price maker dan mempunyai keleluasaan untuk menaikkan atau menurunkan harga dengan menentukan jumlah barang yang diproduksi.
“Jika melihat ketentuan regulasi dan fakta di lapangan, pasar avtur dalam negeri dapat dikatakan belum mengarah pada situasi monopoli,” kata Komaidi dalam keterangannya, Senin (7/10/2024).
Beliau juga menyampaikan bahwa ada peraturan yang bersifat peraturan: Peraturan BPH Migas No. 13/P/BPH MIGAS/IV/2008 Pasal 2 Peraturan tersebut menyatakan: “Penyediaan dan pendistribusian avtur di setiap bandar udara terbuka bagi badan usaha yang memenuhi persyaratan, namun sesuai dengan prinsip sehat, adil dan transparan. kompetisi”.
Berdasarkan informasi, saat ini terdapat 4 unit usaha di Indonesia yang memiliki izin penjualan BBM, yaitu: (1) PT Pertamina Patra Niaga Company; (2) PT AKP Corporindo; (3) PT Dirgantara Petroindo Raya; dan (4) PT Fajar Petro Indo.
Ia menegaskan: “Jika kita berbicara tentang regulasi dan fakta bahwa ada sejumlah pengusaha di pasar Afrika Indonesia, maka tidak tepat jika kita menyebut pasar lokal Afrika sebagai pasar monopoli.
Diberitakan sebelumnya, harga avtur disebut-sebut menjadi salah satu penyebab harga tiket pesawat mahal. Lalu apakah bisa dibuktikan?
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro membeberkan penghitungan harga avtur sebagai salah satu komponen harga tiket pesawat. Rupanya, biaya bahan bakar masih relatif lebih rendah dibandingkan biaya lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata porsi biaya bahan bakar penerbangan terhadap harga tiket pesawat adalah 20-40 persen. Studi menunjukkan bahwa komponen biaya penerbangan non-penerbangan berkisar antara 60-80 persen. Konsumsi bahan bakarnya, kata Pak Komaidi, Senin (10/07/2024).
Lanjutnya, “Upaya penurunan tarif angkutan udara jika hanya terfokus pada harga bahan bakar saja, bisa menimbulkan ketimpangan kebijakan,” lanjutnya.
Dia menunjuk pada biaya bahan bakar sebagai faktor yang menentukan biaya sebagian besar penerbangan besar. Pada tahun 2019, konsumsi bahan bakar penerbangan Garuda Indonesia menyumbang 27 persen dari total konsumsi bahan bakar penerbangan Thai Airways – 27%, Singapore Airlines – 29%, Qatar Airways – 36%, Emirates – 32%.
Diumumkan pada tahun 2023, porsi biaya penerbangan kelima maskapai tersebut akan meningkat masing-masing menjadi 36 persen, 39 persen, 31 persen, dan 41 persen. dan 36 persen
Ia berkata, “Salah satu alasan peningkatan ini adalah rata-rata harga minyak dunia meningkat sekitar 30% selama periode tersebut.
Harga minyak BRENT tercatat meningkat dari $64,30 per barel pada tahun 2019 menjadi $82,49 per barel pada tahun 2023. Sedangkan minyak mentah WTI meningkat dari $56,99 per barel pada tahun 2019 menjadi $77,58 per barel pada tahun 2023.
Ia menegaskan: “Kesimpulan tingginya harga tiket pesawat di dalam negeri disebabkan oleh mahalnya avtur. Sepertinya perlu diperbarui lagi”.
Selain itu, menurut Komaidis, berdasarkan peraturan Menteri Perhubungan No. Tanggal 20/2019, komponen tarif pajak atau harga tiket pesawat yang harus dibayar konsumen adalah: (1) tarif SLJJ; (2) biaya; 3) Premi asuransi wajib; dan 4) biaya tambahan.
Tarif SLJJ yang harus dibayar konsumen terdiri dari biaya langsung dan tidak langsung. Biaya langsung meliputi biaya operasional langsung tetap dan biaya operasional langsung variabel. Dalam peraturan Menteri Perhubungan No. 20/2019 Biaya operasional langsung tetap meliputi: (1) biaya penyusutan atau sewa pesawat; 2) premi asuransi; 3) upah tetap awak kapal; 4) Biaya akademik tetap; dan (5) biaya pelatihan kru dan teknisi.
Sedangkan biaya operasional langsung variabel meliputi: (1) biaya bahan bakar; 2) konsumsi bahan bakar (avtur); 3) tunjangan awak kapal; 4) biaya perbaikan atau pemeliharaan modal; 5) biaya pelayanan bandara; 6) Biaya pelayanan navigasi penerbangan; 7) biaya pelayanan penerbangan daerah; dan 8) Makanan untuk penerbangan.
Sesuai Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 1. Sesuai Peraturan 20 Tahun 2019, konsumen membayar harga tiket pesawat sekitar 16% dari biaya maskapai, termasuk pajak, asuransi, dan biaya layanan.
Oleh karena itu, kenaikan harga tiket pesawat tidak hanya terkait dengan harga avtur saja, tetapi juga ditentukan oleh 15 komponen biaya lainnya, tambah Komaidi.