Ingat, Tulisan ‘No Pork, No Lard’ Tidak Bisa Jadi Jaminan Halal Sebuah Restoran
thedesignweb.co.id, Jakarta – Sebelum diberlakukannya sertifikasi Halal pada 17 Oktober 2024, masih banyak sektor usaha terkait makanan dan minuman serta turunannya yang belum tersertifikasi Halal. Beberapa restoran bahkan mencoba menutupi kekurangan sertifikat halal dengan memajang tulisan “No Pork, No Lard” di depan restoran.
Tujuan dari teks tersebut adalah untuk menunjukkan bahwa restoran tersebut tidak menggunakan daging babi atau minyak babi sebagai bahan dalam menyiapkan makanan/minuman tersebut. Apakah cukup dijadikan pedoman atau jaminan produk dan jasa restoran halal oleh konsumen muslim?
Direktur Utama LPPOM MUI Muti Arinthawati menegaskan, hal tersebut tidak bisa dijadikan jaminan halal. Selain itu, banyak titik kritis dalam penjualan makanan dan minuman halal.
“Sebenarnya kembali ke masa lalu yang belum ada sertifikat halalnya, lalu masyarakat mengklaimnya sendiri, dengan pengertian orang tersebut yang haram itu hanya daging babi dan lemaknya saja,” ujarnya di LPPOM MUI di Jakarta, Kamis 3 kepada media mengumpulkan. 2024.
Sehingga dia meminta konsumen muslim lebih jeli. “Jadi menurut saya kalau masih ada tidak ada alasan untuk membelinya, karena sudah banyak yang jelas-jelas halal sebagai pilihan,” sarannya.
Selain itu, umat Islam yang masih berbelanja di restoran tanpa sertifikat halal memberikan sinyal yang salah kepada penjual. “Jika kita sebagai konsumen muslim masih memilih produk yang tidak bersertifikat halal, hal ini tidak mendorong produsen untuk melakukan sertifikasi produknya,” jelasnya.
Penerbitan sertifikasi dibagi menjadi dua cara, yaitu melalui Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) Komisi Fatwa MUI yang baru dibentuk atau melalui metode deklarasi mandiri. Merujuk situs bpjph.halal.go.id, Kepala BPJPH Mohammad Aqeel Irham mengatakan, sertifikat pernyataan mandiri halal yang diterapkan sejak tahun 2021 merupakan fasilitas yang diberikan pemerintah kepada pelaku UKM.
Mekanisme deklarasi mandiri dinilai sebagai langkah strategis pemerintah agar usaha kecil dan mikro dapat memberikan nilai tambah pada produknya dengan standar halal dan bersaing di pasar nasional dan global. Ketentuannya tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (JPH) dan Peraturan Dharma Nomor 20 Tahun 2021 tentang Sertifikasi Halal Bagi UKM.
Menurut Akil, kualitas sertifikat halal dengan metode self deklarasi tidak ada bedanya dengan metode biasa. Syaratnya, deklarasi mandiri hanya berlaku untuk produk usaha mikro dan kecil (UMK) yang berisiko rendah dan proses pembuatannya sederhana.
Prasyarat produk UMK untuk mendapatkan sertifikasi halal mandiri adalah produk tersebut bebas risiko atau menggunakan bahan-bahan yang terverifikasi halal. Proses produksinya juga terjamin halal dan sederhana, ujarnya kepada Akil.
Namun, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Miftahul Huda khawatir fasilitas tersebut akan dimanfaatkan oleh pengusaha nakal karena hanya ada satu orang yang memverifikasi dan memverifikasi klaim para pengusaha tersebut. Tentu saja kualifikasi asisten proses tidak setinggi kualifikasi auditor halal.
“Kalau praktek lapangan sulit mempersempitnya karena kadang orang bilang produk saya sederhana, tapi praktek lapangan cara penentuannya hanya melalui verifikasi dan validasi satu orang,” kata Miftah.
Selain itu, biaya yang dikeluarkan juga relatif terjangkau, yaitu Rp 150.000 per pelaku usaha. Itu juga dibagi antara lembaga dan petugas pemeriksa. Di satu sisi memang kecil, namun biaya tersebut diyakini akan mempengaruhi kualitas observasi pekerja lapangan. Jadi biaya mempengaruhi kualitas, katanya.
Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) beserta peraturan turunannya yang mewajibkan seluruh produk yang beredar harus bersertifikat Halal. Masa tenggang berikutnya dijadwalkan pada 17 Oktober 2024 untuk empat jenis produk, yaitu makanan dan minuman sebagai produk akhir; bahan baku, bahan tambahan dan penolong makanan dan minuman; pembelian jasa dan produk; Juga segala jasa yang berkaitan dengan pengolahan makanan dan minuman untuk konsumen (teknik mesin, logistik, retail).
Direktur LPOM menegaskan, layanan ritel terkait makanan dan minuman termasuk dalam kategori yang harus bersertifikat Halal sesuai nomor PP. 39 Tahun 2021. Untuk memenuhi kewajiban tersebut, perusahaan harus menerapkan beberapa persyaratan, termasuk fasilitas pemisahan antara produk halal dan haram.
Sertifikasi halal bagi pengecer meliputi proses pengelolaan aliran bahan atau produk yang harus bebas dari kontaminan yang berpotensi mencemari bahan/produk halal. Meliputi pergudangan, distribusi (termasuk penerimaan barang), penanganan dan penyimpanan, dan presentasi. Mereka memberi,’ kata Mooty.
Produk yang ditangani oleh pengecer yang ingin memperoleh sertifikasi Halal harus diidentifikasi dan ditangani sesuai dengan standar. Secara retail, terdapat tiga kategori produk yang memerlukan penanganan berbeda. Pertama, produk yang jelas halal (seperti buah dan sayur) atau memiliki sertifikat halal tidak memerlukan perlakuan khusus.
Kedua, perusahaan harus memastikan bahwa produk haram seperti daging babi dan alkohol tidak mencemari produk halal dan harus memiliki label yang jelas. Ketiga, produk yang tidak jelas status kehalalannya namun bebas babi ditangani sedemikian rupa agar tidak mencemari produk bersertifikat halal.
Selain itu, perusahaan harus memiliki prosedur tertulis dengan dokumentasi yang ditetapkan, termasuk penerimaan, penanganan, pemrosesan dan penyimpanan, ketertelusuran penanganan produk, penanganan produk yang tidak memenuhi standar, pelatihan karyawan, serta kebutuhan audit internal dan tinjauan manajemen Berdasarkan data BPJPH, hingga September 2024, sudah terdapat 48 usaha ritel yang bersertifikat Halal, 28 di antaranya telah bersertifikat Halal melalui pemeriksaan LPOM.