Regional

Saksi Ahli Sidang Guru Supriyani Sebut Penyidik Polisi Tidak Prosedural

thedesignweb.co.id, Kendari – Sidang lanjutan terhadap guru Supriyani digelar pada Senin (11 Mei 2024) di Pengadilan Negeri Andoolo Konawe Selatan. Sidang hari kelima dipimpin Hakim Stevie Rosano serta asesor Vivi Fatmawaty Ali dan Sigit Jati Kusumo. 

Diketahui, Supriyani, guru relawan di Konawe Selatan, ditahan setelah dituduh melakukan pencabulan terhadap siswa SD kelas 1 SDN 4 Baito Konawe Selatan pada April 2024. Anak laki-laki 

Penyidik ​​polisi meminta uang sebesar Rp 50 juta melalui kepala desa tempat tinggal Supriyani untuk menyelesaikan kasus tersebut, namun Supriyani tidak memiliki uang tersebut.  

Sidang hari kelima menghadirkan tiga orang saksi yakni mukhtar asal Desa Wonua Raya Rokiman, ahli psikologi forensik, saksi Reza Indragiri, dan ahli pidana dan penyidikan Susno Duadji. Dua pakar mengambil bagian secara online melalui pertemuan Zoom. 

Sidang perkara dimulai sekitar pukul 10.00 WITA, hakim meminta keterangan saksi pertama Susno Duadji. Susno menjawab beberapa pertanyaan yang dilontarkan kuasa hukum Supriani Andre Darmawan, Jaksa Penuntut Umum Konawe Selatan Bustanil Najamudin Arifin dan dewan juri.

Kehadiran Susno Duadji diketahui di sidang guru terhormat Supriyani di Konawe Selatan, atas permintaan kuasa hukum tersangka. Susno, purnawirawan jenderal polisi bintang tiga, hadir sebagai ahli tindak pidana dan penyidikan. 

Pengacara guru Supriyani, Andre Darmawan, menghadirkan Susno setelah pengacara menemukan banyak kejanggalan dalam proses penyidikan kasus Supriyani. Sebab, mereka menilai saksi dan alat bukti yang digunakan untuk mengadili Supriyani tidak konsisten dan tanpa pengadilan. 

Susno menjelaskan, jika berkas pemukulan sudah diterima, maka bisa saja laporan polisi menyusul dan kasus tersebut akan segera dilanjutkan. Namun jika tidak ditahan, mulailah dengan laporan polisi, lanjutkan penyidikan, lanjutkan penyidikan demi penyidikan dan bukti yang cukup.

Selain itu, penyidik ​​polisi gagal mengumpulkan dan mengamankan barang bukti di TKP sebelum laporan polisi disampaikan dan kejahatan tersebut terungkap. 

“Tidak efektif, akibat penyitaan barang bukti sebelum ada laporan polisi, dianggap prosedur tidak sah. Karena itu berarti kejadiannya belum terjadi,” kata Susno. 

Susno juga menyoroti permintaan dan hasil otopsi yang menurut perintah harus disampaikan kepada pemeriksa kesehatan oleh penyidik ​​perkara yang bersangkutan. Surat ini tidak boleh disimpan atau disimpan oleh orang tua korban atau penyidik ​​lainnya. 

“Dokter yang melakukan otopsi harus dokter forensik dalam pengertian KUHP. Jika penyidik ​​tidak paham dengan hasil kedokteran forensik, bisa memanggil dokter forensik dan keterangannya akan dijadikan ahli.” 

Susno melanjutkan, Dokter umum adalah ahli patologi forensik. Ia mengatakan bahwa ia telah mempelajari dan memahami hukum bahkan ketika ia masih menjadi seorang polisi, namun karena ia bukan seorang dokter forensik, ia tidak diperbolehkan untuk diterima. 

Susno lantas menyoroti posisi penyidik ​​Polsek Baito yang menggunakan alat bukti dan keterangan anak di bawah umur. Ia mengatakan, dalam sistem peradilan anak, keterangan anak bukanlah keterangan saksi.

“Pernyataan anak itu boleh ditambah, tapi bukan bukti. Karena keterangan anak itu tidak sah, maka anak itu bukanlah saksi yang dapat bersumpah di pengadilan.” 

Saat Andre Darmawan, kuasa hukum guru Supriyani memaparkan fakta BAP saksi anak tersebut. Dia menjelaskan, salah satu keterangan dua saksi pengeroyokan itu tercatat di BAP polisi dengan cara yang sama. Namun pekan lalu terungkap di pengadilan bahwa keduanya memberikan keterangan berbeda tentang pemukulan terhadap Supriyani.

Susno Duadji yang berulang kali ditanyai menjelaskan, mereka dikenakan hukum remaja dan pidana. Dia mengatakan saksi anak-anak pada dasarnya tidak berguna. Kalaupun setuju, tidak bisa dijadikan bukti. 

“Itu tidak masuk akal, tidak ada gunanya. Tetap saja, itu bukan bukti. Itu hanya memperkuat bukti, apalagi yang mengumpat itu anak,” tegas Susno.

Susno pun menyoroti orang tua korban yang berprofesi sebagai polisi. Hal ini tergantung situasi orang tua korban yang bukan penyidik, melainkan datang ke TKP, membawa akta kematian dan memberikan bukti.

“Itu tidak masuk akal, ya. Tidak semua anggota Polri adalah pekerja, tidak semua penyidik, dan tidak semua penyidik ​​mempunyai tugas mengusut suatu perkara,” jelasnya.

Dia menegaskan, yang bisa membawa barang bukti, surat otopsi, adalah penyidik ​​kepolisian yang terlibat dalam penyidikan dan diberi perintah. Menurut dia, masyarakat harus cerdas memahami bahwa hal tersebut merupakan kesalahan prosedur yang dilakukan pihak kepolisian. 

Lebih lanjut, Susno menegaskan keterangan terdakwa (Supriani) sangat lemah dibandingkan keterangan saksi atau alat bukti. Apalagi jika ada celah dalam proses penyidikan yang menjanjikan pembebasan terdakwa atau memperoleh sesuatu dari informasi yang diberikan. 

Sebelumnya, Guru Supriyani diketahui diminta penyidik ​​polisi mengakui kesalahannya saat menganiaya anak kelas I SDN 4 Baito yang dilakukan penyidik ​​Polsek Baito. Namun, dia membantahnya karena dia tidak pernah memukul siswa tersebut.

Susno mengatakan, “Jika keterangan terdakwa diperoleh melalui janji atau cara yang tidak sah, maka penyidik ​​harus diperiksa kode etiknya. Kalau janji itu kemudian berujung pada tindak pidana, sebaiknya diproses karena suap adalah korupsi.” 

Terakhir, Susno menyoroti penggunaan saksi mata yang dilakukan penyidik ​​polisi. Saat memeriksa saksi, penyidik ​​polisi harus benar-benar melihat atau menyaksikan kejadian di lokasi kejadian, ujarnya. Jangan menjadi saksi yang hanya mendengar cerita saksi lain. 

“Saksi yang berkonflik tidak ada nilainya karena tidak didukung alat bukti seperti bukti rekaman atau temuan otopsi forensik, lemah,” ujarnya.

Diketahui, pertemuan pemberitahuan kepada ketiga saksi bernama Supriyani, guru relawan di Konawe Selatan, berlangsung hingga pukul 13.30 Wita. Pengacara terdakwa menghadirkan saksi kedua, psikolog forensik Reza Indragiri. Saksi ketiga adalah Wonua Raya Rokiman. 

Sebelumnya diberitakan, Supriyani (36), seorang guru di Konawe Selatan, harus mendekam di Lapas Wanita Kendara setelah mengaku mencabuli anak kelas II di SDN 4 Baito Konawe Selatan. Pada Rabu (16 Oktober 2024), guru yang masih berstatus relawan itu mendekam di penjara.

Pada April 2024, usai dakwaan polisi, pihak Supriyani berupaya berdamai dengan keluarga siswi SD yang mengaku melakukan pemukulan. Alasannya, dia menolak menganiaya anak SD tersebut.

Namun, orang tua siswa tak mau menuruti permintaan guru honorer yang mengajar sejak 2009 itu. Menurut keluarga Supriani, orang tua anak SD tersebut mengaku menuntut perdamaian hingga 50 juta dirham. Namun Supriani tak setuju karena tak punya uang. Selain itu, Supriani tidak memukul korban. 

Supriyani merupakan satu-satunya guru relawan yang menerima insentif setiap tiga bulan sekali. Gaji bulanannya adalah £300.000. Belum lagi ia harus menghidupi kedua anaknya yang berusia 14 dan 2 tahun. Suaminya kini menjadi satu-satunya petani di desa tersebut.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *