THE DESIGN WEB

Seputar berita tentang liputan nusantara

Otomotif

Toyota Harap Pemerintahan Prabowo Pulihkan Daya Beli untuk Dorong Pertumbuhan Otomotif

thedesignweb.co.id, Tangerang – PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) berharap pemerintahan baru yang dipimpin Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka bisa segera memulihkan daya beli masyarakat. Menurut Wakil Presiden Direktur TMMIN Bob Azam, peningkatan daya beli menjadi prioritas sektor perdagangan dan investasi.

Berbicara di kawasan BSD, Tangarang, Bunten, Bob menegaskan penurunan daya beli yang terjadi saat ini merupakan permasalahan mendesak yang harus segera diatasi pemerintah. Padahal prioritas kami dari dunia usaha adalah seberapa cepat pemerintahan baru ini memulihkan daya beli, ujarnya, Rabu (9/10/2024).

Bob mengidentifikasi penurunan daya beli sebagai penyebab utama deflasi, yang diakibatkan oleh melemahnya permintaan dibandingkan kelebihan pasokan barang. Kondisi ini berdampak langsung terhadap pertumbuhan pasar dan investasi dalam negeri.

“Kalau di dalam negeri pasarnya tumbuh, maka investasi akan datang. Kalau tidak tumbuh maka investasi tidak akan datang. Jadi, untuk tumbuh kita memerlukan daya beli. Daya beli ini harus didorong,” jelas Bob.

Dia juga menyarankan agar pemerintah menahan diri untuk tidak menaikkan pajak. Sebab, meski suku bunga di Indonesia sudah turun, namun pengaruhnya masih belum cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Babb merekomendasikan kebijakan seperti pelonggaran Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Pemerintah (PPnBM DTP) yang berhasil mendongkrak penjualan kendaraan selama pandemi COVID-19 harus diterapkan kembali. “Jadi daya beli harus benar-benar ditingkatkan dengan relaksasi.”

TMMIN berharap pemerintahan baru dapat segera memberikan arah kebijakan untuk mendukung pertumbuhan sektor otomotif. Pengalaman kami, setiap pemerintahan baru adalah anugerah bagi otomotif, biasanya ada peningkatan kepercayaan, biasanya ada arah baru. Kami berharap pemerintahan saat ini juga mendapat anugerah, kata Babb.

Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan Indonesia akan kembali mengalami deflasi pada September 2024. Artinya, Indonesia akan mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut hingga September 2024.

BPS mencatat inflasi bulanan sebesar 0,12% pada September 2024 atau Indeks Harga Konsumen (IHK) menurun dari 106,06 pada Agustus 2024 menjadi 105,93 pada September 2024.

Pengamat Pasar Modal, Lanzar Nafi menilai deflasi bulanan Indonesia merupakan indikasi penurunan permintaan atau daya beli masyarakat selama 5 bulan berturut-turut. Namun kondisi tersebut secara tidak langsung dapat mempengaruhi pasar modal, namun bergantung pada kondisi makroekonomi.

Sisi negatifnya, deflasi yang terus-menerus mengindikasikan melemahnya daya beli sehingga menimbulkan spekulasi negatif di sektor ritel, properti, primer, dan siklikal, kata Lanjar kepada thedesignweb.co.id, Selasa (8/10/2024).

 

Dengan daya beli yang lebih rendah, investor memperkirakan dividen yang diterima distributor akan lebih rendah, kata Lanzar. Di sisi lain, distributor harus menerapkan strategi efisiensi untuk mengelola biaya produksi relatif terhadap harga jual yang ketat. Oleh karena itu, sentimen profitabilitas secara umum tertekan dan membuat investor berhati-hati dalam berinvestasi pada aset saham.

Dampak positifnya, deflasi ini akan memaksa Bank Indonesia untuk melakukan pelonggaran kebijakan moneter dengan menurunkan suku bunga lebih lanjut untuk mendorong penurunan daya beli, kata Langer.

Penurunan suku bunga instrumen obligasi akan memberikan reaksi positif. Karena investor mencari return yang lebih tinggi dibandingkan suku bunga bank. Dalam jangka panjang, saham-saham sektor properti, perbankan, konstruksi, dan teknologi akan paling diuntungkan. Secara keseluruhan, semua sektor akan mendapatkan keuntungan karena biaya pinjaman untuk ekspansi akan lebih murah, kata Lanzar.

“Tentunya merupakan instrumen yang menarik, obligasi dengan kupon yang besar dan jangka waktu yang panjang. Bank Indonesia mempertimbangkan penurunan suku bunga sehingga menarik minat investor terhadap instrumen obligasi, khususnya obligasi pemerintah,” jelas Lanzar. Selain itu, saham-saham di sektor perbankan, properti, konstruksi dan teknologi mempunyai peluang untuk mempertimbangkan peningkatan biaya pinjaman, yang mungkin lebih mudah dilakukan dengan suku bunga yang lebih rendah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *