PPN 12% Trending Topic, Warganet Ramai-Ramai Tolak Kenaikan Pajak
Liputan6.com, Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menerapkan PPN sebesar 12% mulai Januari 2025. Naik dari pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11% yang berlaku mulai 1 Januari 2022.
Terkait kebijakan kontroversial tersebut, netizen pun ramai menolak PPN 12% hingga menjadi trending topik di Platform X alias Twitter.
Garuda Biru kembali menjadi simbol protes dan keresahan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak adil, khususnya terhadap masyarakat.
“Memungut pajak kepada masyarakat tanpa timbal balik adalah kejahatan. Jangan minta pajak lagi kalau tidak bisa melayani rakyat. Tolak PPN 12%,” bunyi kalimat protes kenaikan PPN dengan gambar burung garuda berwarna hijau. .
“Jangan biasakan mengeksploitasi manusia! Pungut pajak yang besar pada mesin tenun hutan, pertambangan lahan, industri tersier. Jangan eksploitasi manusia,” bunyi peringatan lainnya.
Tak hanya itu, banyak juga netizen yang menentang keras tarif PPN 12%. Berikut ini adalah tweet yang dibuat oleh beberapa netizen di X.
“Tolak PPN 12%,” cuit @syaf*** lantang
@kang*** menulis: “Bodoh sekali. Kami menolak PPN 12%.”
@ves*** berkata: “Tagar meningkat, netizen mengkritik kenaikan PPN 12%, meskipun Majelis Nasional acuh tak acuh.”
@mul*** berkata: “Sebaiknya Pemerintah menunda kenaikan PPN 12%. Perekonomian masih lemah, kelas menengah menyusut, PHK dimana-mana, industri hancur, lapangan kerja resmi menyusut”.
Kepala Ekonom Permata Bank Joshua Pardade mengatakan kebijakan pemerintah menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025 berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional.
Dengan kenaikan tarif PPN, penerimaan negara akan meningkat signifikan. Dengan PPN yang lebih tinggi, pemerintah akan menerima lebih banyak uang untuk mendanai berbagai program penting seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
“Secara historis, PPN merupakan salah satu sumber pendapatan utama negara dan lebih tahan terhadap perubahan ekonomi dibandingkan pajak penghasilan,” kata Josua kepada Liputan6.com, Rabu (20 November 2024).
Kenaikan PPN akan mengurangi defisit anggaran dan ketergantungan pada utang, terutama setelah pemerintah meningkatkan belanja selama pandemi.
Selain itu, PPN mudah dipungut karena tercatat dalam seluruh transaksi keuangan, terutama yang berkaitan dengan konsumsi. Berkat itu, pengelolaan perpajakan menjadi lebih efektif.
“Dengan kenaikan menjadi 12%, tarif PPN Indonesia akan setara dengan rata-rata global (15%) dan ASEAN, menjadikan sistem perpajakan Indonesia lebih menarik bagi investor,” ujarnya.
Kemudian, dalam jangka panjang, peningkatan penerimaan pajak akan berkontribusi dalam mewujudkan visi Indonesia 2045, yang bertujuan menjadikan negara ini berkembang dan menjadi salah satu dari lima negara dengan perekonomian terbesar di dunia.
Sebaliknya jika kebijakan kenaikan PPN tidak dilaksanakan maka akan menimbulkan banyak dampak, pertama, Pemerintah akan kehilangan potensi sumber penerimaan tambahan, memperbesar defisit anggaran, dan membatasi ruang keuangan untuk belanja manufaktur.
Kedua, pembangunan infrastruktur, program sosial, dan investasi strategis lainnya akan terhambat jika pendapatan negara tidak mencukupi untuk mendanai kebutuhan tersebut.
“Lebih jauh lagi, hal ini dapat menyebabkan peningkatan beban utang pemerintah dan risiko fiskal jangka panjang, karena pemerintah harus lebih bergantung pada pinjaman untuk membiayai defisit,” katanya.
Di sisi lain, reformasi perpajakan yang non-progresif akan memperlambat perbaikan perekonomian dan menjadikan Indonesia kurang kompetitif di kawasan.