Regional

Hoaks Krisis Iklim di Indonesia: 24,2% Responden Yakin Buatan Elite Global

Liputan6.com, Yogyakarta – Muncul kelompok yang percaya pada konspirasi tentang asal usul dan penyebab krisis iklim. Berbicara pada acara Pekan Pembelajaran Digital 2024 UNESCO: Teknologi Manajemen untuk Pendidikan, Novi Gurnia, dosen Fakultas Ilmu Komunikasi, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Ficipol) UGM, mengatakan adanya kekhawatiran munculnya kelompok rival akan menghambat kebijakan pemerintah. . Untuk mengatasi krisis iklim.

“24,2% responden survei CfDS percaya bahwa krisis iklim diciptakan oleh elit global. Mereka disebut sebagai Climate Change Deniers atau kelompok penyangkal krisis iklim,” jelasnya pada acara tanggal 2-5 September di Paris, Perancis.

Dalam debat tersebut, Novy mengangkat isu misinformasi dan hoaks yang meluas seputar krisis iklim. Oleh karena itu, perlu diterapkan strategi untuk menghilangkan misinformasi mengenai krisis iklim secepatnya, karena berdasarkan penelitian Center for Digital Society (CfDS), ditentukan bahwa 98% misinformasi berasal dari jejaring sosial. Bentuk misinformasi seperti konten palsu, parodi, misrepresentasi, dan konten menyesatkan. 57,7% tautan terkait krisis iklim ditemukan palsu atau misinformasi. “Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar dan tergolong penyangkal perubahan iklim karena mereka juga menyebarkan informasi yang salah. Meski pertumbuhannya masih belum besar, namun ada kebutuhan mendesak untuk melawannya,” kata Novi. 

Menurutnya, sebaran informasi mengenai krisis iklim belum begitu populer di masyarakat, sehingga perlu dilakukan penelitian dengan menganalisis informasi yang sudah dipastikan tidak benar oleh pemeriksa fakta. Namun jika masyarakat mulai menaruh perhatian terhadap isu krisis iklim, potensi penyebaran misinformasi tentu akan semakin besar.

Melalui diskusi panel ini, Novy mengangkat isu kecerdasan buatan (AI) untuk memerangi misinformasi mengenai krisis iklim. Saat ini, organisasi anti-hoax seperti Persatuan Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Google sudah menggunakan AI sebagai alat penyaringan hoax dan misinformasi, karena dapat menyaring dan menolak artikel atau konten yang teridentifikasi. . lelucon “Tingkat akurasi pengecekan fakta menggunakan AI masih 30-90%. “Sulit bagi intelijen militer untuk menyaring konteksnya sehingga informasi akurat tidak teridentifikasi sebagai hoaks,” kata Novy.

Tantangan lainnya adalah penggunaan AI untuk memfilter konteks dalam bahasa Indonesia, karena sistem AI yang dikembangkan saat ini masih berbasis bahasa Inggris. AI berbasis bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan norma sosial masih perlu ditingkatkan. “Masalah etika terkait kebebasan berekspresi menghadirkan tantangan dalam penggunaan kecerdasan buatan untuk memerangi misinformasi mengenai krisis iklim.”

Potensi AI sebagai alat untuk menyaring misinformasi dan penipuan memerlukan perhatian khusus dari pemerintah dan organisasi non-pemerintah (LSM). Oleh karena itu, kolaborasi antarsektor sangat diperlukan untuk mendorong isu krisis iklim ke masyarakat tanpa terhalang oleh penipuan. Novy menambahkan, pengembangan kecerdasan buatan harus didasarkan pada kebutuhan masyarakat, dan tentunya dengan basis kearifan lokal dan nilai-nilai sosial. Jika tidak, AI mempunyai kemampuan untuk menghasilkan informasi yang salah dan penipuan dengan sendirinya.

Pertemuan para pendidik, pemerintah, dan organisasi non-pemerintah di UNESCO Digital Learning Week 2024: Managing Technology for Education mengangkat isu-isu global yang menghadapi praktik kehidupan berkelanjutan. 300-400 pembuat kebijakan dan pakar dari 50 negara di seluruh dunia berkumpul untuk meluncurkan strategi dan komitmen bersama untuk mengatasi krisis iklim.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *