Teknologi

Terungkap! Alasan LinkedIn Kena Denda Fantastis Rp 5,2 Triliun dari Uni Eropa

thedesignweb.co.id, Jakarta – Pada 24 Oktober 2002, LinkedIn mendapat masalah besar setelah regulator Uni Eropa mendendanya sebesar $335 juta atau sekitar Rp 5,2 triliun, kenapa?

Menurut Bleeping Computer, Minggu (27/10/2024), denda tersebut disebabkan adanya pelanggaran serius terhadap peraturan privasi data, khususnya Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR).

Komisi Perlindungan Data Irlandia (DPC) telah menyuarakan keprihatinan tentang keabsahan dan transparansi pemrosesan data pribadi pengguna oleh LinkedIn untuk tujuan periklanan.

Hasil investigasi menunjukkan bahwa LinkedIn tidak memiliki dasar hukum yang memadai untuk mengumpulkan data privasi guna menargetkan iklan kepada penggunanya.

Investigasi ini diluncurkan setelah adanya keluhan dari otoritas perlindungan data Prancis. DPC mengatakan: “Kami menyelidiki pemrosesan data pribadi LinkedIn untuk analisis perilaku dan iklan bertarget.”

Dalam putusan tersebut, DPC memberikan teguran dan memerintahkan LinkedIn untuk mematuhi peraturan yang ada, selain mengenakan denda administratif sebesar Rp5,2 triliun.

Meskipun LinkedIn mengatakan akan mematuhi aturan, LinkedIn mengakui perlu meningkatkan praktik periklanannya untuk memastikan kepatuhan di masa depan.

Kasus ini menjadi pengingat penting bagi seluruh platform digital untuk berhati-hati dalam menangani data pengguna, terutama di era di mana privasi adalah hal yang sangat penting.

LinkedIn sedang menguji fitur saluran video pendek mirip TikTok di aplikasinya.

Informasi tentang fitur LinkedIn baru ini telah dikonfirmasi oleh perusahaan kepada TechCrunch, yang semakin memperkuat langkah perusahaan untuk memperkenalkan saluran video pendek.

Seperti diberitakan TechCrunch, Sabtu (30/3/2024), video pendek mirip TikTok di LinkedIn ditemukan oleh Austin Null, direktur strategi di sebuah agensi bernama McKinney.

Dia juga memposting video pendek di LinkedIn yang menunjukkan seperti apa saluran baru itu dan di mana letaknya di bilah navigasi aplikasi di bawah tab Video.

Saat Anda mengeklik tombol “Video”, pengguna akan diarahkan ke umpan vertikal berisi video pendek yang dapat dilewati, mirip dengan TikTok.

Tak hanya itu, pengguna juga bisa menyukai, mengomentari, atau membagikan video kepada orang lain.

Sayangnya, LinkedIn tidak membagikan detail tentang cara menentukan video mana yang muncul di feed pengguna.

Meskipun konten video pendek di jejaring sosial lain bervariasi, saluran video pendek LinkedIn jelas berorientasi pada karier dan profesional.

Meskipun nantinya pengguna dapat mengunggah video mereka sendiri, saluran khusus ini dirancang untuk meningkatkan keterlibatan pengguna di platform.

Lalu kapan seluruh pengguna LinkedIn bisa menggunakan fitur ini? Perusahaan milik Microsoft itu tidak menyebutkan kapan fitur baru tersebut akan diluncurkan secara global. 

Di sisi lain, LinkedIn menambahkan fitur permainan berbasis teka-teki ke platform media sosialnya (medsos).

Aplikasi tersebut ditemukan oleh peneliti Nima Ouj di akun X miliknya dan beberapa tangkapan layar berbagai game di LinkedIn.

Seperti dilansir TechCrunh, Selasa (19/3/2024), poin karyawan atau pengguna mempengaruhi peringkat perusahaan yang bekerja di game tersebut.

Platform media sosial untuk pencari kerja ini mengerjakan beberapa permainan, termasuk Queens, Inference, dan Crossclimb.

Meskipun dipastikan sedang mengembangkan game yang terintegrasi dengan LinkedIn, perusahaan belum mengatakan kapan fitur LinkedIn baru ini akan diluncurkan secara global.

Juga belum jelas apakah permainan puzzle ini akan tersedia untuk pengguna gratis atau hanya untuk pelanggan LinkedIn berbayar.

Analisis profil LinkedIn mengungkap tren pergantian karyawan di perusahaan teknologi.

Analisis LinkedIn menemukan bahwa Google menjadi tujuan para mantan karyawan Apple yang meninggalkan pekerjaannya.

Analisis tersebut dilakukan Switch on Business, mengutip Tech Times, Sabtu (25/11/2023). Penelitian ini didasarkan pada profil LinkedIn yang terkait dengan sejumlah perusahaan teknologi raksasa.

Google, Amazon, Apple, Meta, Microsoft, IBM, Tesla, Oracle, Netflix, Nvidia, Salesforce, Adobe, Intel, dan Uber ditelusuri secara menyeluruh untuk mengidentifikasi karyawan perusahaan-perusahaan ini dan kontribusi profesional mereka.

Beberapa dari mereka yang baru bergabung dengan Apple sebagai karyawan juga tampaknya pernah bekerja di Intel, Microsoft, dan Amazon. Selain itu, akuisisi bisnis modem ponsel pintar Intel pada tahun 2019 akan memainkan peran penting dalam lanskap perekrutan Apple.

Selain itu, sebagian besar karyawan yang keluar dari Apple memilih pindah ke Google sebagai tujuan utama mereka. Mengalahkan opsi lain seperti Amazon dan Meta.

Menurut 9to5Mac, tempat kerja teratas bagi mantan karyawan Apple termasuk Google, Meta, Amazon.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *