Bisnis

BBM dan LPG Kena Imbas Kenaikan PPN jadi 12 Persen? Ini Kata Pertamina

thedesignweb.co.id, Jakarta – PT Pertamina Patra Niaga belum menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari pemerintah sebesar 12 persen untuk bahan bakar minyak (BBM) dan LPG. 

Menurut dia, belum jelas apakah barang-barang tersebut akan terdampak kenaikan pajak.

Kita tunggu PPNnya, apakah produk BBM dan LPG terkena tambahan pajak atau tidak? Kita tunggu pemerintah, kata PT Pertamina Patra Nega, Happy Wilnasari, Jakarta, Senin (23/12/2024) di

Dia menjelaskan, kenaikan PPN yang ditetapkan pemerintah bukan sebesar 12% seperti yang diyakini sebagian pihak, melainkan 1%. Hal ini merupakan penjelasan penting atas kekhawatiran yang muncul di masyarakat dan dunia usaha.

“PPN naik menjadi 12 persen, bukan 1 persen.

Meski demikian, Heppy menegaskan, Pertamina Patra Niaga selalu siap mendukung kebijakan pemerintah. Namun saat ini pihaknya masih menunggu aturan final yang akan dikeluarkan otoritas terkait.

PPN 1 persen ini merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam meningkatkan pendapatan masyarakat untuk mendukung berbagai program pembangunan. Namun, dampaknya terhadap sektor-sektor utama, seperti energi, yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat, harus dipertimbangkan dalam implementasinya.

Maka mengenai ketidakpastian apakah BBM dan LPG akan terdampak kenaikan PPN, Hepi berharap masyarakat bisa menunggu informasi resmi lebih lanjut dari pemerintah sebelum mengambil kesimpulan lebih lanjut.

 

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ERM) Bahlil Lahadalia menyampaikan dampak nilai tukar rupee terhadap sektor energi dan pertambangan.

“Jadi begitu juga dengan nilai tukar rupee terhadap dollar ya, kita tahu saat ini kondisi perekonomian global sedang tidak menentu. Tentu akan mempengaruhi nilai tukar rupee kita,” kata Behlil dalam pertemuan tersebut Kantor BPH Migas, Jakarta, Kamis (19/12/2024).

Bahlil juga menyoroti salah satu sektor yang paling terdampak adalah BUMN Pertamina yang mengimpor LPG antara Rp 500 triliun hingga Rp 550 triliun per tahun yang digunakan dalam jumlah besar sebagai bahan bakar minyak (BBM) dan dibutuhkan dalam jumlah besar sejumlah devisa. .

“Kalau di sektor ESDM, yang paling banyak butuh dolar adalah Pertamina. (Alasannya) kita impor BBM, termasuk LPG, selama setahun yang biayanya Rp 500 triliun hingga devisa 550 triliun. Dibutuhkan Rp triliunan. , “katanya. . .

Di sisi lain, Bahlil mengakui pelemahan rupee terhadap dolar AS mengalami tekanan karena sebagian besar transaksi impor yang dilakukan perusahaan energi seperti Pertamina mengharuskan pembelian dolar Amerika Serikat (AS).

Oleh karena itu, nilai tukar yang tidak stabil dapat meningkatkan harga impor, yang pada akhirnya mempengaruhi keuangan publik dan stabilitas pasokan energi dalam negeri.

 

“Dan pasti akan kita tukarkan ke dolar. Kalau pekerjaan teman-teman di tambang pasti ada dampaknya, karena biaya suku cadangnya dolar. Tapi kita lihat saja, mudah-mudahan para pelaku usaha mengelolanya dengan baik. akan mampu,” katanya.

Namun menurut Bahlil, pemerintah berupaya mengurangi ketergantungan impor dengan harapan bisa mengurangi aliran dolar. Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan meningkatkan produksi energi lokal dan meningkatkan efisiensi sektor energi untuk mengurangi permintaan impor.

“Sekarang tugas kita adalah mengurangi impor agar tidak membutuhkan dolar sebanyak itu. Naik turunnya nilai mata uang tergantung permintaan legal yang sebenarnya,” tutupnya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *