Eksaminasi PK Mardani Maming Dinilai Tidak Mendukung Pemberantasan Korupsi
thedesignweb.co.id, JAKARTA – Verifikasi ahli hukum terhadap pelaku korupsi Mardani Maming untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) sedang dibahas. Pemeriksaan itu dititipkan di tengah proses peninjauan kembali (PK) Mardani H Maming di Pengadilan Tinggi (MA).
Dalam tinjauan tersebut, pakar hukum menyoroti Peraturan Bupati Nomor 296 Tahun 2011 tentang Persetujuan Pelimpahan Izin Usaha Produksi, Pertambangan (IUP-OP) dari PT BKPL kepada PT PCN. Mereka menilai keputusan tersebut tidak melanggar aturan.
Direktur Pengawasan Peradilan Indonesia (ICM) Trai Wahav mengatakan pemantauan tersebut tidak tepat karena terkesan mendukung korupsi. Menurutnya, pakar kehumasan harus mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Tentunya masyarakat berharap banyak akademisi di kampus-kampus Indonesia yang berperan dan mendukung penuh program antikorupsi, bukan sebaliknya. “Dalam perkara yang sedang didalami ini berkaitan dengan suap, gratifikasi yang dibungkus dengan fee, bukan sekedar penerbitan keputusan bupati,” ujarnya, Jumat (11/10).
Diakui Tri Vahu, pemeriksaan ahli hukum dalam kasus Mardani H., terpidana korupsi. Mumifikasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) berpotensi mempengaruhi independensi majelis hakim dalam putusan uji materi yang sedang menunggu keputusan di Pengadilan Tinggi (MA).
“Penyidikan dilakukan dalam konteks permohonan PC terdakwa, sehingga rentan berdampak pada independensi peradilan. Jelas juga bagi masyarakat Indonesia siapa yang mensponsori ujian dan penerbitan buku ujian tersebut?
Trai Wahyu berharap Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (MA) bisa berkomitmen terhadap putusan uji materi yang diajukan Mardani H Maming. Majelis sidang Mardani H Maming mengatakan TRAI harus mengambil keputusan yang memberantas korupsi di Tanah Air.
ICM mengimbau MA khususnya hakim PK tetap independen dalam mengadili perkara PK dan tetap berkomitmen pemberantasan korupsi di Indonesia, meneruskan komitmen warisan baik mendiang Artijo Alcostar, ujarnya.
Romli Atmasamita, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran, mengkritisi penanganan hukum kasus mumi Mardani. Ia menyatakan, banyak kesalahan serius di dalamnya.
“Ada delapan kesalahan menurut saya yang bisa digolongkan sebagai kesalahan hukum,” kata Romley, Rabu (10/9/2024).
Romley berpendapat bahwa penuntutan kasus ini dipaksakan oleh penerapan Pasal yang salah. Dijelaskannya, penerapan Pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001. Hakim kasasi dalam perkara maskulinitas hendaknya tidak hanya menggunakan pendekatan normatif saja, namun juga memperhatikan pendekatan Wessenschau.
“Tujuan ditetapkannya pasal 12 b adalah untuk memberikan efek jera agar penyelenggara negara dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Negara, sebelum diundangkan. UU Tipikor Tahun 1999 /2001 Jadi, model pemikiran yang sistemik, historis dan teleologis dalam putusan kasasi Perkara Nomor 3741/2023. Keputusan ini dilaksanakan bukan atas nama kejantanan, juga kesalahan hakim atau kesalahan faktual,” jelas Romli.
Sebagai anggota tim perumus RUU Pemberantasan Korupsi 1999. Dan dalam amandemennya pada tahun 2001, Romley juga menyoroti kesalahan hakim agung dalam menjalankan tugasnya, khususnya hakim yang korup.
Menurut dia, terdapat perbedaan penafsiran hukum di kalangan hakim MA terhadap ketentuan Pasal 14 UU Nomor 31 Tahun 1999. dan SE MARI Nomor 07 Tahun 2012. Dalam hasil konstitusi panel pidana.
Pandangan pertama menyatakan bahwa meskipun modus operandinya berkaitan dengan undang-undang lain, namun jika unsur-unsur pasal tindak pidana korupsi terpenuhi maka UU Tipikor dapat dilaksanakan. Pandangan kedua menyatakan bahwa UU Tipikor hanya berlaku jika khusus Curry dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi dan selisihnya tidak terselesaikan dan menunggu revisi Mahkamah Agung,” lanjut Romley.
Berdasarkan hal tersebut, Romley menyimpulkan bahwa UU No. Tahun 1999. 31 Tidak ada kepastian hukum mengenai penafsiran dan penerapan Pasal 14.
Kurangnya kepastian hukum inilah yang menjadikan putusan kasasi Mahkamah Agung dalam perkara nomor 3741/2023 terhadap Mardani Maming tidak adil jika tetap menegakkan UU Tipikor, imbuhnya.
Selain Romli, Dosen Hukum Pidana FH UII, Mahrus Ali, menilai Maming tidak melanggar Pasal 93 UU Minerba karena ketentuan pasal tersebut berlaku bagi pemegang IUP dan tidak berlaku bagi Bupati yang menjadi penerimanya. diterbitkan. Dekrit
“Selama syarat peralihan IUP terpenuhi, maka pengalihan izin tidak ada masalah,” jelasnya.
Sebelumnya, Pengadilan Tipikor Banjarmasin memvonisnya 10 tahun penjara, denda Rp500 juta, tambahan kurungan 4 bulan, dan restitusi Rp110,6 miliar. Mardani dinyatakan bersalah melanggar Pasal 12 Huruf B juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999. Tentang Penghapusan Tindak Pidana Korupsi.
Mardani yang sebelumnya menjabat Ketua Umum DPP Ikatan Pengusaha Muda Indonesia didakwa menerima hadiah atau reward senilai kurang dari Rp 118 miliar saat menjabat sebagai Bupati Tanah Bambu.
Gratifikasi tersebut terkait dengan Keputusan Bupati Tanah Bambu Nomor 296 Tahun 2011. Tentang persetujuan pengalihan IUP OP dari PT BKPL ke PT PCN. Tak terima dengan putusan Pengadilan Tipikor Banjarmasin, Mardan Maming mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Banjarmasin.
Majelis hakim PT Banjarmasin justru menambah hukuman Mardani menjadi 12 tahun penjara. Namun setelah tidak diterima, Mardani H Maming mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hakim Agung Suhadi bersama Hakim Agung Agustinus Purnomo Hadi dan Hakim Agung Suharto menolak mentah-mentah permohonan kasasi tersebut.
Majelis hakim Mahkamah Agung menghadiahkan mumi laki-laki sebesar Rs. 110.604.371.752 (Rp 110,6 miliar) dan divonis 4 tahun penjara.
Pada tanggal 6 Juni 2024, Mardani Maminge mengajukan permohonan ke Mahkamah Agung terhadap P.K. Nomor PKnya adalah 784/PAN.PN/W15-U1/HK2.2/IV/2024.
Sumber: Titin Supriatin/Merdeka.com