Berita

Ombudsman RI Sebut Ada Disharmonisasi Regulasi Jamsostek, Ini Penjelasannya

thedesignweb.co.id, Jakarta Ombudsman Indonesia mengatakan ketidakharmonisan regulasi di pusat dan daerah menyebabkan munculnya kelompok pekerja informal dan rentan yang tidak memiliki perlindungan sosial dalam hal ketenagakerjaan. Salah satu peraturan yang belum diharmonisasi adalah Instruksi Presiden n. Pasal 2 Tahun 2021 mengatur optimalisasi jaminan sosial ketenagakerjaan (Jamsosnaker).

Ketua Ombudsman Robert Na Endi Jaweng mengatakan, secara nasional regulasi yang ada sudah lengkap, permasalahannya di tingkat daerah karena belum banyak provinsi/kabupaten/kota yang memiliki peraturan.

“Wilayah Manggara Barat sudah ada, namun masih bersifat umum. Kami berharap kedepan pihak Balai Purbakala Manggara Barat akan menyiapkan perda untuk dibagikan kepada pekerja rentan seperti petani, nelayan dan pekerja informal lainnya. Sudah ada payung hukumnya. , “katanya.

Sementara itu, Sekretaris Daerah Manggarai Barat Fransiskus Sales Sodo mengatakan, program jaminan sosial ketenagakerjaan sejalan dengan program pihaknya dalam mengentaskan kemiskinan ekstrem.

“Saran Ombudsman kepada pemerintah daerah agar menyiapkan aturan khusus, khususnya pendataan pekerja informal yang kemudian ditanggung oleh pemerintah daerah,” ujarnya.

“Tahun depan kita akan menambah kuota pekerja informal rentan melalui APBD. Kalau tahun ini kita melatih 1.000 pekerja, tahun depan kita berharap bisa jauh dari itu,” jelas Fransiskus Sales.

Hasil di beberapa daerah menunjukkan masih banyak masyarakat, khususnya pekerja informal, yang terhambat untuk ikut bekerja di BPJS. Hal ini terjadi karena pekerja informal atau mandiri tidak terikat dengan perusahaan tempat mereka bekerja sehingga rentan menjadi peserta tidak aktif.

Robert Na Endi mengungkapkan Ombudsman RI akan merekomendasikan kepada pemerintah agar pekerja informal rentan seperti petani dan nelayan yang kesulitan membayar iuran dapat menerima Perlindungan BPJS Ketenagakerjaan melalui keberadaan Sistem Pendukung Iuran (PBI).

“Jadi dari sisi regulasi, pertama-tama kami minta Kementerian Koordinator bersama kementerian terkait menyiapkan SKB, Surat Keputusan Bersama yang menjamin petani dan nelayan bisa mendapat iuran, PBI,” ujarnya.

Di sisi lain, Kepala BPJS Ketenagakerjaan Wilayah Bali, Nusa Tenggara, dan Papua Kuncoro Budi Winarno mengatakan, pihaknya akan terus meningkatkan kerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan.

“Kami terus meningkatkan pelayanan, informasi dan edukasi merupakan hal yang terus kami upayakan dengan sekuat tenaga agar semakin banyak pekerja yang menyadari pentingnya perlindungan jaminan sosial,” ujarnya.

“Risiko bisa terjadi sewaktu-waktu, dengan perlindungan BPJS tempat kerja maka pekerja dan keluarganya bisa bekerja keras dan tidak khawatir dengan risiko di tempat kerja seperti kecelakaan kerja dan kematian,” jelas Kuncoro.

Secara nasional, klasifikasi pekerja informal mendominasi status pekerja di Indonesia. Sekitar 59,17% dari total jumlah pekerja di Indonesia atau 84,13 juta jiwa merupakan pekerja informal, atau pekerja informal yang tergolong sebagai peserta bukan penerima upah (BPU) dalam sistem jaminan sosial.

Dalam klasifikasi ini, profesi pertanian dan perikanan merupakan profesi yang paling rentan terhadap risiko sosial ekonomi seperti penyakit dan kematian akibat kerja, kecelakaan kerja dan kesulitan ekonomi di hari tua.

Sayangnya, dalam situasi yang rapuh ini, mayoritas petani dan nelayan tidak terkena dampak sistem jaminan sosial ketenagakerjaan. Baru sekitar 2 juta orang atau 6,9% dari seluruh petani Indonesia yang menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan.

Sedangkan jumlah BPU dari profesi perikanan hanya mencapai 491.000 orang atau setara dengan 38,7% dari jumlah nelayan di Indonesia.

 

(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *