Lifestyle

Keluh Kesah Pengusaha Terkait Wajib Halal, Biaya Tinggi Pendampingan Minim

thedesignweb.co.id, Jakarta – Label Halal pada kemasan atau kotak bukan sekadar stiker. Hal ini merupakan jaminan bahwa konsumen muslim akan menerima produk yang akan mereka konsumsi sesuai dengan praktik Islam.

Di sisi lain, dengan jumlah penduduk Muslim di Indonesia sekitar 207 juta jiwa, produk berlabel halal memiliki potensi ekonomi yang luar biasa, menurut Badan Pusat Statistik. Namun penerapannya dalam praktik tidak semudah membalikkan telapak tangan, padahal kewajiban Halal sudah berlaku sejak 18 Oktober 2024, sesuai UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Kasmujiono, Ketua Hutan Cacing Tanah Riau, mengakui bahwa meyakinkan para petani madu hutan yang didukungnya, termasuk sekitar 260 kelompok tani, akan pentingnya sertifikasi halal merupakan tantangan tersendiri. Banyak dari mereka yang masih menganggap tugas ini tidak menguntungkan mereka. 

“Khusus di tingkat petani, mereka menjual (madu) secara grosir. Dengan berjualan grosir, mereka tidak lagi berpikir untuk mengurus A, B, C, dan seterusnya. Penting agar produk terkirim. Kalaupun untung kecil, penjualannya tinggi,” ujarnya kepada tim gaya hidup thedesignweb.co.id di Jakarta, Rabu, 6 November 2024.

Sebagai mitra, pihak berupaya memastikan sertifikasi halal dapat meningkatkan nilai produk. Sekali lagi, akan sulit meyakinkan mereka karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa sertifikat halal mereka tidak berdampak signifikan terhadap pendapatan.

“Padahal, harusnya ada nilai tambah.” Itu semua soal nilai tambah, selama ini mereka masih ketagihan dengan prosesnya. Proses pembuatan sertifikat juga membutuhkan biaya,” lanjut Kas.

 

Hal senada juga disampaikan Hariyadi Sukamdani, Ketua Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Dalam pertemuan beberapa waktu lalu di Jakarta, dia menjelaskan banyak anggota PHRI yang umumnya tidak mau memenuhi kewajiban halal.

“Yang pertama menyangkut sisi biaya rata-rata, yang kedua menyangkut sisi proses. Ya, ternyata di bidang ini juga cukup rumit,” ujarnya.

Hariyadi mengatakan, berdasarkan informasi anggota, biaya untuk mendapatkan sertifikat halal berkisar antara Rp30 juta hingga Rp70 juta. Hal ini hanya berlaku pada menu yang dipertahankan saat ini. Apabila terjadi penambahan menu atau perubahan stok maka akan dikenakan biaya tambahan untuk proses sertifikasi.

Diungkapkannya juga, masih banyak anggota yang belum mengetahui tujuan penerapan kewajiban Halal tersebut. Beberapa dari mereka juga menawarkan minuman beralkohol di tempat mereka. Banyak juga yang menggunakan bahan-bahan impor yang tidak bersertifikat Halal. 

“Kami juga mulai melihat kekhawatiran mengenai isu-isu yang dicari secara lokal.” Ada orang yang mulai mencari masalah dengan sedikit rasa takut tapi tidak kentara,” imbuhnya tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Untuk itu, Hariyadi mengusulkan batas waktu penerapan wajib halal diundur setidaknya dua tahun. Sementara itu, ambiguitas di bidang ini semakin dihilangkan sehingga kesadaran akan pemenuhan tugas muncul dengan sendirinya.

“Kalau tidak, masyarakat cenderung apatis. “Iya, terserah kamu, maunya apa lho. Nggak enak kan?”

Kasmujiono juga mengeluhkan minimnya sosialisasi. Menurut dia, petani madu belum mendapat informasi detail mengenai proses sertifikasi halal. Sosialisasi saja dirasa belum cukup, namun perlu ditambah bantuan yang komprehensif. 

“Itulah yang seharusnya menjadi peran pemerintah. Dia datang, memberi contoh, lalu dibimbing cara melakukannya, lalu… Satu pion, dua pion, kita ikuti lalu bimbing sampai akhir. Ini dia.” “Jadi memang perlu dijelaskan tahap demi tahap,” jelasnya.

Pemerintah diharapkan dapat mendukung dengan menyediakan dana untuk sertifikasi, tidak hanya untuk sertifikasi Halal tetapi juga untuk sertifikasi lain yang diperlukan. Menurut Kasmujiono, dana tersebut bisa diambil dari anggaran dana desa yang 60 hingga 70 persennya khusus diperuntukkan untuk pemberdayaan masyarakat.

“Promosi merupakan salah satu cara yang digunakan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa produknya bersertifikat.” Kalau masyarakat yang bertanggung jawab, keuntungannya sudah rendah, maka perlu mengurus sertifikasi dan menambah uang,” ujarnya.

Namun Yuvlinda Susanta, Executive Director Corporate & Event Management Super Indo, berpendapat berbeda. Mereka baru saja mendapatkan sertifikat Halal untuk dua kategori penting, yaitu layanan penjualan mentah dengan nomor ID00410020402620824 dan penyediaan makanan dan minuman olahan dengan nomor ID00410020401140824. Selain itu Super Indo juga telah menerapkan sistem jaminan produk Halal dengan sangat baik (sangat baik).

Berbicara kepada Lifestyle thedesignweb.co.id, Yuvlinda menjelaskan besar kecilnya biaya pengurusan sertifikasi halal itu relatif. Namun bagi perusahaannya, ia memandang sertifikasi halal sebagai investasi yang memiliki manfaat jangka panjang, terutama dalam hal kepercayaan pelanggan.

“Ini adalah sebuah investasi, ini adalah investasi yang adil karena setelah mendapatkan sertifikasi Halal, kita seharusnya bisa lebih percaya diri.” Pelanggan akan lebih loyal. Mereka yang sebelumnya bukan pelanggan bahkan datang berbelanja karena melihatnya di sana.

 

Kepala Halal Science Center IPB University Khaswar Syamsu juga melihat kesadaran ini sebagai tantangan terbesar, terutama di kalangan pengusaha besar. Faktanya, masalah biaya dapat diatasi dengan menyediakan sumber daya periklanan atau pemasaran untuk membeli sertifikat. Kini disadari bagi UMKM, selain minim pengetahuan, biaya sendiri juga menjadi kendala.

Oleh karena itu, diperlukan dukungan pemerintah atau CSR dari BUMN atau swasta untuk membantu UMKM mendapatkan sertifikat Halal, sarannya.

 

Persoalan pengetahuan juga menjadi tantangan besar yang harus diatasi. Khaswar menghimbau kepada para pemangku kepentingan termasuk UKM untuk mencari ilmu dari para ahli melalui pelatihan Halal bagi petugas yang ada.  

“Untuk melakukan sertifikasi halal, seperti sertifikasi keamanan pangan atau sertifikasi mutu (ISO), Anda perlu memahami aturan dan prosedurnya. “Harus memiliki pengetahuan tentang Sistem Jaminan Produk Halal, menyiapkan daftar bahan dan dokumen pendukung Halal, menyiapkan manual Halal, dan sebagainya,” ujarnya.

“Untuk itu diperlukan instruktur halal yang berkualitas dan harus mengikuti pelatihan dan uji kompetensi. Tentu saja, bagi perusahaan besar dengan staf dan kapasitas yang memadai, hal ini tidak menjadi masalah besar. Namun hal ini menjadi masalah besar bagi UKM yang tidak melakukan hal tersebut.

Ia berharap pemerintah mencari solusi komprehensif atas situasi kurang optimal di lapangan. Pada saat yang sama, pemerintah juga didesak untuk menerapkan sanksi terhadap pelaku ekonomi yang obsesif. “UU No. 33/2014 menyatakan bahwa semua produk yang ditempatkan dan dipasarkan di Indonesia harus memiliki sertifikat Halal, tidak termasuk produk yang sebenarnya haram. Produk haram harus diberi label haram. Namun peraturan ini tidak disertai sanksi yang jelas dan tegas sehingga banyak pelaku usaha yang mengabaikan persyaratan sertifikasi Halal.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *