Kesehatan

Angka KDRT di Indonesia: Fenomena Gunung Es di Balik Neraka Rumah Tangga

thedesignweb.co.id, Jakarta – Berita kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hampir setiap hari muncul di media. Jumlah ini tidak termasuk laporan media sosial mengenai kekerasan dalam rumah tangga.

Pemberitaan KDRT terkini di media adalah tentang seorang perempuan Pasuruan yang dilaporkan dianiaya oleh suaminya selama 19 tahun pernikahannya.

Menurut Vahyu Novitasari, suami bule tersebut kerap mencaci-makinya, menyebutnya penipu, pencuri, dan pelacur.

Selama menikah, perempuan tersebut tidak hanya mengalami kekerasan verbal, namun juga kekerasan fisik seperti pemukulan, penginjakan, dan pencekikan.

Butuh waktu 19 tahun bagi perempuan tersebut untuk akhirnya melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Pasouro pada Desember 2023. Namun hingga saat ini belum ada kejadian besar yang terjadi.

Berbicara mengenai kekerasan dalam rumah tangga, Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Veronica Tan menegaskan bahwa isu tersebut merupakan inti dari kementeriannya. Pendataan yang dilakukannya bersama Menteri PPPA Arifa Fauzi mengungkapkan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi salah satu kasus yang paling banyak dilaporkan di Kementerian PPA.

 

“Saya baru bersama menteri, saya baru dua minggu terakhir bertugas di kementerian dan saya sudah mengumpulkan bukti-bukti. Tentu banyak hal (yang diberitakan) yang pernah terjadi kekerasan, seperti kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga. di lingkungan terdekat,” kata Tan saat ditemui Health-thedesignweb.co.id di Jakarta Barat, pekan lalu.

 

Jika mengacu pada data KemenPPPA tahun 2023, jumlah kasus kekerasan di Indonesia mencapai 18.466 kasus. Korban terbanyak di antaranya adalah perempuan, sebanyak 16.351 orang (88,5%) dan 11.324 orang (61,3%) merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Jumlahnya di atas mencapai puluhan ribu, namun kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilaporkan hanyalah puncak gunung es. Masih banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga di keluarga Indonesia, namun psikolog klinis Nirmala Ika tidak melaporkannya. “Banyak kasus KDRT, tidak dibicarakan,” kata Ika kepada Health thedesignweb.co.id melalui sambungan telepon.

 

Pertanyaannya adalah mengapa begitu banyak orang tidak mengalami kekerasan dalam rumah tangga, atau bahkan tetap berada dalam pernikahan yang penuh kekerasan?

Ika, psikolog spesialis trauma dan kekerasan berbasis gender, menemukan banyak faktor yang membuat perempuan sulit melepaskan diri dari pernikahan kekerasan dalam rumah tangga.

Isu kesalahpahaman nilai budaya dan agama kerap mengemuka. Di sini, perempuan adalah sosok yang berusaha meningkatkan keharmonisan keluarga dan bertanggung jawab. Jika mengikuti nilai-nilai tersebut, perempuan akan menjadi sosok yang mampu memperbaiki keadaan. 

Hal lainnya adalah stigmatisasi terhadap seorang janda merupakan hal yang buruk di masyarakat. Memaksa perempuan untuk memilih tetap berada dalam pernikahan yang penuh kekerasan. 

“Faktor lain yang menyebabkan masih bertahannya hal ini adalah stigma masyarakat yang juga sangat buruk terhadap para janda,” kata Ika.

Faktor ketiga yang menyebabkan perempuan tetap bertahan dalam pernikahan yang mengandung kekerasan dalam rumah tangga adalah status ekonomi mereka. Benar bahwa zaman telah berubah dan perempuan mempunyai sarana untuk mencari nafkah, namun stigma sebagai pencari nafkah utama masih tetap ada.

“Ada anggapan suami bekerja, istri mengurus anak, dan pekerjaan rumah di rumah. Tampaknya istri tidak mampu mencari nafkah,” kata Ika.

Selain itu, ketika wanita mempertimbangkan untuk meninggalkan suatu hubungan, ada banyak pertimbangan, terutama dalam hal keuangan. “Dalam benak korban KDRT, ‘siapa yang akan mengasuh anak jika saya bercerai?’ pertanyaan sering ditanyakan.

 

Faktor kelima yang mungkin menjadi salah satu aspek kelangsungan hidup perempuan dari kekerasan adalah faktor internal.

Seseorang yang melihat orang tuanya bertengkar di masa kecil hingga berujung pada kekerasan fisik, percaya bahwa itulah yang dimaksud dengan pernikahan.

 

“Ketika seseorang sudah terbiasa melihat orang tuanya berkelahi dan saling memukul, mereka berpikir begitulah seharusnya pernikahan,” kata Ika.

 

Faktor keenam mengapa perempuan memilih untuk tetap bertahan dalam pernikahan kekerasan dalam rumah tangga adalah rasa takut kehilangan seseorang yang pernah mereka cintai, seperti suaminya.

Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga memiliki siklus yang meningkat dan diikuti dengan kekerasan. Pelaku kemudian mengambil pola meminta maaf dan mengakui pelanggarannya serta menyalahkan korban atas alasan tindakannya. Kemudian penjahat melupakan kejadian tersebut. Masa tenang atau bulan madu terjadi setelah korban diperlakukan dengan baik atau dicintai kembali. Siklus ini terus berlanjut dan seringkali gagal.  

“Jika selama ini korban belum bertemu dengan orang lain yang mencintainya seperti pasangannya, maka perasaan tidak ingin meninggalkannya semakin kuat. Korban merasa sangat terikat dengan pasangannya,” kata Ika.

 

Anak-anak menjadi alasan banyak perempuan tetap menjalin hubungan dengan suaminya yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Hal inilah yang kerap ditemui psikolog klinis Efni Indriani di ruang kerjanya.

Efni menunjukkan bahwa para korban KDRT, khususnya perempuan, rela berkorban agar anak-anaknya merasa memiliki keluarga yang utuh dengan ayah dan ibu.

“Itu membuat mereka hidup,” kata psikolog yang mengajar di Universitas Kristen Maranatha Bandung itu.

Berdasarkan hasil tes Efni, banyak pasien korban KDRT yang kehilangan rasa cinta terhadap pasangannya. Namun, anak-anak memaksa mereka melakukan apa pun untuk bertahan dalam hubungan yang sulit. “Jadi lebih pada komitmen. Ketika para korban ini bertanya kepada anaknya, mereka bebas menjawab keberadaan ayah dan ibunya,” ujarnya kepada Health thedesignweb.co.id melalui telepon.

Pasangan sering kali menggunakan persetujuan untuk mengakhiri kekerasan dalam rumah tangga. Faktanya, kesepakatan seringkali dilanggar. Ketika seorang penjahat marah, dia kembali melakukan kekerasan.

“Kenapa? Karena kadang itu adalah refleks otomatis yang muncul ketika seseorang sedang marah atau dalam keadaan negatif,” kata Efni.

Untuk mengatasinya, pelaku kejahatan harus mendapat penanganan agar bisa mengendalikan emosinya. Pada penanganan tahap pertama terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga, psikolog melakukan pemeriksaan preventif.

“Saya biasanya menggunakan alat biopsikologi, alat untuk memeriksa seberapa serius kondisi mental saat ini,” jelas Efni.

Kemudian cari alasan lain mengapa seseorang bisa melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Bermula dari faktor lingkungan, misalnya saja sejak kecil ia melihat lingkungan yang penuh dengan kekerasan.

Selanjutnya, Anda perlu memeriksa tubuhnya. Terkadang gangguan fisik dapat menyebabkan gangguan emosi pada sebagian orang. “Kalau darurat, misalnya tumor otak atau semacamnya, bisa saja. Oleh karena itu, kita juga harus mempertimbangkan situasi biologisnya.

Psikolog kemudian perlu melihat kebiasaan makan Anda sehari-hari, seperti apa yang Anda makan dan pola makan Anda. Psikolog kemudian akan memeriksa gaya hidup Anda.

 

Makanya perlu diidentifikasi satu per satu. Berdasarkan identifikasi itu masalahnya di mana. Perlu diselesaikan satu per satu, jelasnya.

 

 

Ia pun mengingatkan bahwa hal tersebut merupakan proses panjang yang memerlukan komitmen dari pelaku agar mau berubah.

Orang-orang di sekitar pelaku kekerasan dalam rumah tangga harus mendorong orang tersebut untuk mencari pengobatan. Promosi tersebut tidak hanya datang dari pihak istri, namun juga dari orang-orang di sekitar pelaku.

“Terkadang pelaku KDRT bukanlah orang tua yang dihormati, melainkan saudara laki-laki, bibi, atau orang bijak,” kata Efni.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *