Peneliti Global Health Security Beri Masukan untuk Percepatan Penanganan Tuberkulosis di Indonesia
thedesignweb.co.id, Jakarta Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang memiliki angka kematian tertinggi di dunia dan jauh melebihi COVID-19. Dalam 100 tahun terakhir, 1 miliar orang meninggal karena tuberkulosis.
Pemberantasan penyakit ini merupakan salah satu tugas Kementerian Kesehatan (Kemenkes) selama lima tahun ke depan dan ditugaskan langsung kepada Presiden Prabowo Subianto.
“Beliau (Prabovo Subianto) juga bertanggung jawab untuk mempercepat pengobatan TBC,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat ditemui di Jakarta, Senin (21 Oktober 2024).
Tentang salah satu program kesehatan terkemuka, peneliti keamanan kesehatan global Dickie Budiman melaporkan untuk Prabowo dan Budi. Dickey berpendapat bahwa perencanaan yang rinci dan terukur dengan jadwal yang jelas dan indikator kinerja utama (KPI) diperlukan.
Dickey juga merinci rekomendasi rencana aksi 100 hari Departemen Kesehatan untuk Program Pengobatan Cepat Tuberkulosis: Bulan 1-2: Deteksi dan Deteksi Kasus
Pada bulan pertama dan kedua, Dickey mengusulkan untuk mengidentifikasi kasus TBC.
Hal ini bisa dilakukan melalui kerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Hal ini berarti mengintegrasikan layanan diagnosis dini TBC melalui Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ke puskesmas dan klinik setempat.
Dickey mengatakan dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 23 Oktober 2024, “fokusnya di wilayah yang angka kejadiannya tinggi seperti Jawa Barat, Sumatera Utara, Papua, dan Jakarta.” Pelatihan pekerja medis
Pada bulan pertama dan kedua, Dicky juga menyampaikan perlunya pelatihan tenaga kesehatan.
“Program pelatihan intensif bagi 2.000 petugas kesehatan di daerah dengan beban tuberkulosis tinggi untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mengidentifikasi dan merawat pasien.”
Pada bulan ketiga, Kementerian Kesehatan Republik berhasil menstabilkan pengobatan dan akses terhadap obat anti tuberkulosis.
“Pendistribusian obat pertama dan kedua harus dipastikan melalui pengendalian langsung di 10 provinsi penderita tuberkulosis. Berkolaborasi dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kementerian Kesehatan untuk menjaga rantai pasok obat.
Jangan lupa bahwa kampanye nasional melalui kampanye anti-tuberkulosis massal juga perlu dilakukan dengan melibatkan media, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat untuk mendorong deteksi dini dan kepatuhan pengobatan.
Key Performance Indicator (KPI) atau indikator kinerja utama program ini: Cakupan kasus TBC pada minimal 50 persen kasus suspek TBC di 10 provinsi prioritas. Target tersebut berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Kementerian Kesehatan mengenai beban tuberkulosis di Indonesia. Kepatuhan terhadap pengobatan berhasil, dengan 85 persen pasien TBC menerima pengobatan lengkap. Tujuan ini sejalan dengan tujuan global WHO untuk pemberantasan TBC. LSM dan masyarakat, setidaknya LSM lokal, terlibat dalam program penjangkauan dan kampanye kesadaran masyarakat mengenai TBC.
Menurut Dickey, pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi (CEP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (FAA) diperlukan agar program tersebut dapat berjalan dengan baik.
Fungsi CM dan BM mengawasi pengelolaan dana obat anti tuberkulosis, distribusi regional dan pencegahan penyalahgunaan. Audit berkala dilakukan untuk memastikan kepatuhan pengadaan dan distribusi obat sesuai standar.
Di sisi lain, LSM dan organisasi internasional dapat membantu dengan pelatihan, advokasi dan kerjasama teknis di bidang pengendalian TBC.