Sejarah Ranca Upas, Hutan Lindung Rapuh yang Terancam Hidupnya karena Pariwisata
thedesignweb.co.id, Jakarta – Ranja Upas, Kecamatan Ranjabali, Kabupaten Bandung, Jawa Barat menjadi sorotan publik sejak adanya aksi vandalisme yang dilakukan komunitas jalan setapak beberapa waktu lalu. Jauh sebelum itu, Ranja Upa memiliki sejarah panjang dan fakta unik yang belum banyak diketahui orang.
Prof. Dr. Pakar konservasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Achmad Sjarmidi mengatakan perlindungan Ranja Upas pertama kali dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Belanda juga telah memasukkan Ranja Upas ke dalam peta sejak abad ke-19. Status Ranja Upakse berubah dari cagar alam, taman wisata alam, dan terakhir disebut hutan lindung, kata Sjarmidi saat diwawancara thedesignweb.co.id, Selasa, 14 Maret 2023.
Pada tahun 1982, Perhutani mulai mengembangkan Ranja Upa untuk tujuan penelitian dan pariwisata, meskipun fasilitasnya sangat terbatas. Pada tahun 1989, Ranja Upas direnovasi dan ditetapkan sebagai tujuan wisata karena jumlah pengunjungnya meningkat dari tahun ke tahun.
Ranja berarti “perang” dan Upas berarti “polisi hutan” dalam bahasa Sunda. Konon nama tersebut bermula dari tenggelamnya seorang ranger karena rawanya yang dalam dan masih alami.
Luas Kawasan Wisata Ranja Upaksen kurang lebih 215 hektar. Kawasan ini memiliki ekosistem yang unik dan ciri-ciri yang unik. Bunga lili rawa (Eurocaulone Brouliane dan Eurocaulone Cingiflone) yang berwarna putih dan tidak mudah pudar merupakan flora khas Ranca Upas. Ada pula jenis lumut yang diyakini sudah punah.
Menurut Pepep D.W, aktivis lingkungan hidup dan penulis Regions Aware, bunga lili rawa merupakan tanaman langka asli Jawa Barat dan hanya bisa ditemukan di dua tempat, Ranja Upas dan Danau Cibesarjärvi. Bedanya, Danau Cibesar memiliki kawasan konservasi yang tidak bisa diakses oleh aktivitas apa pun, sedangkan Ranja Upas merupakan hutan lindung dengan Taman Wisata Alam yang bisa dikunjungi, namun hanya dalam batas 215 hektar.
Ia menambahkan, ciri-ciri ekosistem lahan basah pegunungan Ranja Upas menjadi perhatian tidak hanya bagi Indonesia tetapi juga bagi LSM internasional. “Selalu dilindungi lingkungan. Namun dalam kasus kami, perlindungan hukumnya masih sangat lemah,” kata pria yang diidentifikasi sebagai Kang Pepep.
Ranja Upas kini semakin terancam aksi massa. Sejak tahun 1990, Perhutani merawat Ranja Upa dan beralih fungsi dari sekedar hutan konservasi menjadi kawasan wisata. “Jadi Kawasan Wisata sejak dikuasai Perhutan. Ada Desa Cai Rancaupas yang bukan sekedar camp tapi semakin berkembang,” kata Pepep.
Pada saat yang sama, Sjarmidi menyampaikan alasan dibuatnya Kawasan Pariwisata. “Usaha perkayuan di Perhutan sudah tidak jalan, sudah jadi usaha pariwisata. Kampnya sudah dibangun. Di dalamnya ada penangkaran rusa, bisa dipakai untuk pesta, populer sekali.”
Saat ini banyak wisatawan yang datang ke kawasan tersebut. Namun hal ini berdampak buruk terhadap lingkungan. Sayangnya, setelah adanya wisata massal Ranja Upa saat ini, rawa khas pegunungan ini telah dikeringkan oleh pihak pengelola Ranja Upa untuk keperluan rekreasi, perluasan camp, dan lain-lain, kata Pepep.
Sjarmidi mengungkapkan ada beberapa kekhawatiran terkait Ranja Upa. “Pihak manajemen tidak bisa mengendalikan para tamu karena banyak dari mereka yang menginap di sana dan banyak anak-anak yang merangkak dan menyebabkan kerusakan saat berkemah.
Ia menambahkan: “Kenapa kemarin booming? Karena jalur offroad ini sudah menjadi perhatian. Ini puncak frustasi para pecinta alam dan menunjukkan ketidakmampuan pengelola dalam mengelola kawasannya.”
Stasiun hutan lindung Ranja Upa seharusnya cukup untuk mencegah kerusakan kawasan. Dalam bahasa Inggris statusnya adalah cagar alam. Ranja Upas merupakan bagian dari kompleks pegunungan yang tidak bisa dibedakan dengan Gunung Patuha di Jawa Barat dan di mata wisatawan, Kawah Putih.
“Ranja Upas saat ini masih berupa hutan konservasi, namun sebagiannya berupa camp,” kata Pepep. Lebih lanjut dia menjelaskan, hutan lindung tersebut memiliki blok pegunungan dan dimanfaatkan untuk wisata alam.
Berbagai tindakan selalu dilakukan untuk menjaga kawasan Ranja Upa. Sebelumnya, pada 1990-an, ada rencana pembebasan Rawa Upas dari lapangan golf. “Tapi di Bandung Raya, aktivis (lingkungan hidup) lain menentang sehingga bisa dibatalkan,” kata Pepep.
Meski sebagian kawasan Ranja Upakse telah dijadikan area perkemahan, Pepep menegaskan aktivitas off-road tidak diperbolehkan di kawasan hutan lindung tersebut. Hal ini terkait dengan pelestarian alam dan keseimbangan ekosistem serta manfaat jangka panjang bagi masyarakat lokal.
Tentu yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah hutan lindung bisa dimanfaatkan untuk aktivitas off-road. Pepep menjelaskan: “Sayangnya, hutan lindung ini bukan untuk off-road, apalagi tipikal kawasan seperti Ranja Upa dengan rawa pegunungan dan hutan yang masih asri.”
Dia menuntut perizinan yang lebih ketat di hutan lindung. “Kegiatan seperti off-road sulit diterima. Tidak ada toleransi,” imbuhnya.
Sekitar 2.000 sepeda motor yang melewati Rawa Upas telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang cukup parah. “Perhatian masyarakat banyak tertuju pada lahan basah yang rusak akibat jalur tersebut, padahal jalur tersebut tidak hanya merusak bunga lahan basah saja, tapi juga ciri-ciri lain di kawasan Ranja Upa. Selain lahan basah pegunungan, kerusakan hutan juga berdampak buruk. efeknya,” kata Pepep.
Pepep menyayangkan kerusakan terus terjadi di wilayah yang dikelilingi pegunungan dengan vegetasi hutan primer dan heterogen. Katanya: “Selain hutannya masih asri, di tengahnya ada sungai yang kita sebut sungai purba. Karena sungainya bersih banget, tidak ada lumpur, proses sedimentasi sering berjalan, bebatuan terlihat. bagus banget. tua, ini kita lagi, sayang sekali kalau dijadikan jalan.
Selain itu, keberadaan sepeda motor trail juga mengganggu satwa yang hidup di Ranja Upa. Ranja Upasi merupakan rumah bagi satwa yang sangat bernilai ekologis, seperti macan kumbang, lutung jawa, dan Suril, primata dari Jawa Barat. “Pada desibel tertentu, mereka menjadi cemas, stres, bahkan para ahli mengatakan mereka tidak mau berkembang biak jika sedang cemas,” kata Pepep.
Perhutani kemudian merestorasi atau menanam bakau di rawa tersebut setelah mendapat kritik dari media dan masyarakat. Meski demikian, Sjarmidi menegaskan rehabilitasi pasca kejadian harus dilakukan secara hati-hati dan penuh perhatian.
“Ini kecelakaan yang terjadi di kawasan yang sangat rapuh, sensitif, terbatas, dan dinilai konservatif. Kalau kerusakan seperti ini tidak tiba-tiba ditanami kembali. Harus diperhatikan, ada penilaian, ada penilaian siapa yang merusak apa. Itu terjadi, bukan sembarangan, jadi kemarin banyak “yang mengutarakan, ‘Siapa yang mencari wajahmu?’
Para pecinta alam dan aktivis lingkungan juga mengeluhkan keputusan penyelenggara acara, dalam hal ini Ikatan Motor Indonesia, dan pemangku kepentingan setempat yang membolehkan sepeda melewati kawasan hutan lindung. Sjarmidi mengingatkan penyelenggara dan Perhutan bahwa perusakan hutan lindung mempunyai akibat hukum.
Katanya: “Ya, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Kehakiman. Nomor 5 Tahun 1990 “Tentang Perlindungan Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya”.