Kesehatan

Pemberdayaan Pelayanan Kanker di Indonesia: Langkah Menuju Kemandirian Kesehatan

thedesignweb.co.id, Jakarta – Kanker merupakan salah satu penyakit mematikan di Indonesia, dengan biaya pengobatan yang sangat tinggi untuk setiap penderitanya. Hingga saat ini, banyak pasien yang memilih berobat ke luar negeri, seperti Malaysia atau Singapura, karena yakin fasilitas di negara tersebut lebih baik. Fenomena ini menjadi perhatian besar pemerintah, jumlah uang yang dikeluarkan pasien Indonesia untuk berobat ke luar negeri mencapai sekitar Rp 170-180 triliun setiap tahunnya.

Ronald A. Hukom, dokter spesialis penyakit dalam dan onkologi Perkumpulan Dokter Penyakit Dalam Medis Hematologi Onkologi Indonesia (Perohompedin), mengatakan Presiden Joko Widodo dan Menteri Kesehatan telah berkali-kali menyatakan keprihatinan atas banyaknya pasien kanker yang berobat ke luar negeri.

Presiden dan Menteri Kesehatan sering mengeluh banyaknya masyarakat Indonesia yang berobat ke luar negeri, terutama penyakit jantung dan kanker. Kalau dilihat dari biaya per pasien, pengobatan kanker paling besar, kata Ronald di Jakarta, pekan lalu. . 

Setiap tahunnya, Indonesia mengalami kerugian sekitar 170-180 triliun rupiah akibat pasien berobat ke luar negeri. Menurut Ronald, pemerintah tidak akan tinggal diam menghadapi tantangan tersebut. Dalam beberapa bulan terakhir, tim ahli onkologi dari berbagai pusat kesehatan besar diundang untuk menjadi pembicara di Kementerian Kesehatan dan BUMN, termasuk MD Anderson Cancer Center dari Amerika Serikat. Pendekatan multi-disiplin

Mereka menekankan pentingnya pendekatan multidisiplin dalam menangani penyakit kanker yang menurut Ronald masih belum cukup diterapkan di Indonesia.

“Negara-negara maju sudah melakukan kerja multidisiplin dalam pengobatan kanker sejak tahun 90an, namun di Indonesia kita masih tertinggal,” tegasnya.

 

Ronald juga menyinggung kunjungan tim Mayo Clinic ke Jakarta pada akhir September lalu. Mereka menegaskan, pengobatan kanker tidak hanya sekedar kompetisi antar dokter atau rumah sakit saja, namun harus fokus pada kebutuhan pasien.

“Pasien yang datang dalam stadium lanjut, dan harapan sembuhnya lebih kecil dibandingkan mereka yang datang pada stadium awal,” ujarnya.

Misalnya, untuk beberapa jenis kanker stadium 3, tingkat kelangsungan hidup masih bisa mencapai 70-80% dalam lima hingga sepuluh tahun.

Namun tantangan besar dalam pelayanan kanker di Indonesia tidak hanya pada pengobatannya saja namun juga pada waktu tunggu yang lama, terutama dalam hal diagnosis.

“Di Indonesia ada pasien yang harus menunggu 3-4 minggu untuk mendapatkan hasil biopsi, sedangkan di Malaysia hasilnya bisa didapat dalam waktu kurang dari seminggu,” kata Ronald seraya menyoroti kekurangan yang sering dikeluhkan pasien. . .

 

Lebih lanjut, pemerintah terus mendorong peningkatan fasilitas onkologi, salah satunya adalah pengembangan wisata medis. Beberapa Kawasan Ekonomi Khusus seperti Bali dan Batam didirikan untuk menarik pasien kanker ke Indonesia untuk berobat.

Menurut Ronald, langkah tersebut bisa membantu membendung arus pasien yang kerap berobat ke luar negeri.

“Pemerintah telah membuka kawasan ekonomi khusus untuk layanan kesehatan, namun tantangan yang tersisa adalah memastikan fasilitas dan layanan dalam negeri cukup kompetitif agar pasien tetap dipercaya untuk berobat di Indonesia,” ujarnya.

Ronald juga menegaskan, kompetensi dokter Indonesia sebenarnya tidak kalah dengan dokter di luar negeri. Namun tantangannya adalah jumlah dokter tidak seimbang dengan jumlah pasien yang dirawat. 

“Kapasitas dokter kita tidak terlalu rendah. Masalahnya adalah waktu dan jumlah pasien yang harus dirawat. “Di Indonesia, seorang dokter bisa merawat 30-40 pasien sehari, sedangkan di Singapura atau Malaysia, dokter hanya merawat 10 pasien atau kurang,” ujarnya.

Namun kami berharap pelayanan kanker di Indonesia dapat ditingkatkan melalui langkah-langkah strategis yang dilakukan pemerintah agar semakin banyak pasien yang memilih berobat di dalam negeri. Hal ini tidak hanya akan meningkatkan kualitas layanan kesehatan di Indonesia, namun juga akan mengurangi pengeluaran devisa negara ketika pasien berobat ke luar negeri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *