Pemilu AS hingga Pertemuan FOMC Bakal Warnai Pasar Keuangan Global
thedesignweb.co.id, Jakarta – Sederet emosi akan mewarnai pasar keuangan global pekan ini. Hal ini menyebabkan pelaku pasar mengambil sikap wait and see terhadap hasil pemilu (pemilu Amerika Serikat (AS) atau US Election).
Pekan ini merupakan pekan penting bagi pemilu di Amerika Serikat (AS). Namun, hasil jajak pendapat terbaru menunjukkan sedikit perbedaan dalam kekuatan elektoral antara kedua kandidat.
Data jajak pendapat nasional terbaru pada 31 Oktober menunjukkan selisih hanya 1,2 poin dengan Kamala Harris masih memimpin. Namun berdasarkan tujuh negara bagian, Donald Trump masih memimpin di lima dari tujuh negara bagian.
Menurut riset PT Ashmore Asset Management Indonesia pada Senin (4/11/2024), “ekspektasi skenario red-out semakin meningkat, yang memberi tahu kita bahwa posisi fiskal Amerika Serikat kemungkinan besar akan mengalami defisit yang besar”.
Di sisi lain, imbal hasil (yield) obligasi AS bertenor 10 tahun sebesar 4,29 persen dan obligasi bertenor dua tahun lebih tinggi yakni sebesar 4,18 persen atau meningkat sekitar 60 basis poin (bps).
“Pasar global mengambil sikap wait and see karena ketidakpastian mengenai presiden AS berikutnya masih tinggi,” ujarnya.
Selain pemilu AS, paket stimulus Tiongkok dan konflik di Timur Tengah dapat berubah tergantung pada hasilnya.
Selain politik AS, peristiwa besar lainnya yang dinantikan adalah pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) mendatang, yang akan berlangsung hanya beberapa hari setelah pemilihan presiden AS. Ekspektasi pasar terhadap penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin pada September 2024 telah menguat, menurut grafik titik.
“Pandangan ini didukung oleh data AS baru-baru ini, yang terus menunjukkan perlambatan umum di pasar tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi AS,” ujarnya.
Sementara itu, inflasi pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) tahunan tetap stabil pada 2,7 persen selama tiga bulan berturut-turut, meskipun data bulanan terbaru menunjukkan angka tertinggi dalam lima bulan.
“Perubahan paling signifikan dalam ekspektasi suku bunga terkait dengan tingkat suku bunga yang lebih rendah yang mungkin kita lihat di AS, dimana pasar kini melihat tingkat suku bunga yang lebih tinggi.”
Dibandingkan dengan ekspektasi suku bunga pada akhir bulan September yang melihat suku bunga turun menjadi 2,73 persen pada kuartal pertama tahun 2026, perkiraan terbaru menunjukkan tingkat yang lebih tinggi yaitu 3,53 persen pada kuartal pertama tahun 2026 (hampir tiga kali lebih rendah dari sebelumnya). sangat kontras dengan tingkat suku bunga terendah sebesar 0,25 persen sejak tahun 2008.
Oleh karena itu, pasar akan terus memantau dengan cermat sikap The Fed dan data pengangguran mendatang, yang tentunya akan berperan dalam keputusan FOMC berikutnya.
Ashmore percaya bahwa AS harus segera menurunkan suku bunga, karena perkiraan terbaru menunjukkan bahwa utang federal AS mencapai 128 persen dari PDB.
Sementara saham dan obligasi Indonesia mengalami koreksi. Rupee melemah ke level 15.700 terhadap dolar AS setelah mencapai level 15.100 pada bulan September.
Di Indonesia, data inflasi terkini menunjukkan penurunan inflasi tahunan yang stabil hingga 1,71%, namun masih dalam kisaran sasaran inflasi BI.
“Kami ingatkan, masih banyak ruang bagi BI untuk melakukan kenaikan jika inflasi mencapai level yang mengkhawatirkan,” ujarnya.
Selain itu, Ashmore memperkirakan imbal hasil obligasi Indonesia relatif lebih tangguh dengan kenaikan yang relatif tidak terlalu signifikan yaitu sebesar 30 bps, meskipun imbal hasil obligasi Indonesia naik bersamaan dengan kenaikan imbal hasil obligasi AS.
Oleh karena itu, kami merekomendasikan diversifikasi eksposur di seluruh kelas aset ketika pasar sedang bergejolak, namun tetap mempertahankan investasi yang merupakan katalis pertumbuhan dan dapat dengan mudah keluar dari pasar, katanya.