Anak-Anak Berisik Saat Khutbah Jumat, Bagaimana Cara Menghadapinya agar Tak Kurangi Pahala Jumatan?
thedesignweb.co.id, Jakarta Saat khutbah Jumat, anak-anak sering ngobrol satu sama lain dan bersuara keras sehingga mengganggu jamaah lainnya. Tak jarang orang tua mengingatkan anaknya untuk diam saat khutbah.
Lantas bolehkah membicarakan larangan anak membuat keributan saat menunaikan shalat Jumat?
Mengenai hal tersebut, Guru Besar Institut Agama Islam (IAI) Nazhatut Thullab Sampang, Madura, Ustaz Muqoffi menjelaskan bahwa dalam hadits Nabi Muhammad SAW disebutkan:
pesan: pesan: pesan: pesan
Artinya: “Dari Ali ra: barangsiapa mengucapkan: ‘Diam’, maka dia lalai dan barangsiapa lalai, maka tidak ada shalat Jumat baginya,” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Mengenai makna hadis tersebut, para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “tidak ada shalat Jumat baginya” adalah shalat Jumatnya dianggap tidak sempurna, (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, [Riyad, Maktaba Malik Fahd: 2001 ], jilid II, halaman 481).
Sementara itu, Syekh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri menjelaskan maksud hadis tersebut sebagai berikut:
Artinya: “Makna selain hari Jumat baginya adalah tidak mendapat keutamaan hari Jumat dan pahalanya” (Minnatul Mun’im fi Syarh Sahih Muslim, [Riyadh, Darus Salam: tt], Jilid II, Hal. 4) .
“Jadi berdasarkan makna hadits tersebut, melarang anak membuat keributan pada saat khutbah Jumat dapat mengurangi nilai salat Jumat. Bahkan yang melarangnya akan dinyatakan belum selesai salat Jumat dan tidak mendapat keutamaan atau pahala dari hari Jumat,” jelas Ustaz Mukofi mengutip NU Online, Jumat (11/10/2024).
Mukofi menambahkan, Syekh Khatib As-Sirbini pernah menjelaskan bahwa berbicara, termasuk mengucapkan “diam” kepada orang lain saat rangkaian salat Jumat, adalah makruh dan tidak haram.
Bagaimana cara menangani masalah ini?
Artinya: “Makruhnya orang yang menghadiri salat Jumat berbicara pada saat khutbah, karena surat Al-A’raf ayat 204”, (Mughnil Muhtaj, [Beirut, Darul Ma’rifah: 1997], vol. . Saya, halaman 429).
Oleh karena itu, lanjut Mukofi, agar kualitas salat Jumat tetap terjaga dan ibadah mencapai kesempurnaan, para ulama menganjurkan pelarangan orang ribut menggunakan isyarat dan bukan kata-kata.
Imam Al-Ghazali menjelaskan:
من قال سه قد لغا e who لغا فلا جمة له ووتو يدل على ان الإسكات أ ن يكبان اير يكبان اير يبان اي كب بلا لغا
Artinya: “Barangsiapa yang mengucapkan ‘diam’ maka ia lalai, dan siapa yang lalai, maka tidak ada shalat Jumat baginya.” Hadits ini menunjukkan bahwa memperingatkan orang lain agar diam harus dilakukan dengan memberi isyarat atau melempar batu dan bukan dengan berbicara” (Ihya’ Ulumiddin, [Lebanon, Darul Polar Al-Ilmiyah: 1971], vol. I, halaman 241).
Hal ini sejalan dengan pendapat Syekh Nawawi Banten yang menyatakan bahwa memerintahkan orang lain untuk diam saat khutbah Jumat sebaiknya dilakukan dengan isyarat, bukan dengan mengatakan “diam”. Karena cara ini melibatkan berbicara sehingga mengurangi kesempurnaan pahala, sedangkan berbicara saat khutbah adalah makruh.
Syekh Nawawi menjelaskan:
لإن قوله انصت كلام في هدا ان ينهي غيره باشرا اي المفهمة لا باللف ظ
Artinya: “Karena perkataan: ‘Diam’ itu sendiri adalah perkataan, maka sudah selayaknya orang melarang orang lain berbicara melalui isyarat yang dapat dimengerti, bukan melalui kata-kata,” (Maraqil Ubudiyah, [ Lebanon, Darul Polar Al- Ilmiyah) : 1971], halaman 147).
“Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut fikih, masyarakat boleh melarang anak-anak membuat keributan pada saat khutbah Jumat. Namun, lebih baik menggunakan isyarat daripada kata-kata untuk menjaga kualitas dan kesempurnaan ibadah Jumat, pungkas Mukofi.