Bea Cukai Tindak 31.275 Penyelundupan, Negara Potensi Rugi Rp 3,9 Triliun
thedesignweb.co.id, Jakarta – Administrasi Umum Bea dan Pajak Kementerian Keuangan menindak 31.275 kasus penyelundupan dengan total nilai barang Rp6,1 triliun sepanjang Januari hingga November 2024.
Dirjen Bea Cukai menjelaskan: Sejak awal tahun 2024, penyelundupan barang telah dilakukan sebanyak 31.000 kali dan di Departemen Bea Cukai sebanyak 275 kali, jumlah barang mencapai 6,1 triliun rial, dan pemerintah dapat mengalami kerugian. mencapai 3,9 triliun real. dan Axis, Skolani dalam operasi pemusnahan impor/ekspor ilegal di kantornya, Jakarta, Kamis (14/11/2024).
Secara spesifik, sebanyak 12.490 tindakan dilakukan di sektor impor dengan nilai barang sebesar 4,6 triliun riyal. Bahan baku yang dominan adalah tekstil dan Produk Tekstil (TPT).
Selanjutnya dilakukan 382 tindakan di sektor ekspor dengan nilai produk 255 miliar riyal. Berurusan dengan aset dominan berupa flora dan fauna.
Kasus ekspor antara lain penyelundupan sumber daya alam (SDA) melalui hasil operasi patroli laut. Berupa empat gugatan terhadap benih rajungan transparan (BBL) dengan jumlah total 1.488.405 orang dan nilai komoditas sebesar 163,7 miliar riyal, serta lima kali gugatan terhadap pasir timah dan nilai komoditas sebesar 10,9 miliar riyal.
Kemudian pada sektor furniture dilakukan sebanyak 178 promosi senilai 38 miliar riyal dan produk yang dominan adalah TPT. Selain itu, dilakukan 18.000 dan 225 tindakan di bidang pajak tidak langsung dengan nilai produk 1.100 miliar toman, dan produk yang paling banyak dituntut adalah rokok dengan total 710 juta batang.
Askalani mengatakan, Berdasarkan hasil pemberantasan penyelundupan barang di Bea Cukai dan Pajak sejak awal tahun 2024, Bea Cukai dan Pajak telah melakukan 183 penyidikan pidana dan menetapkan 193 tersangka.
Selain itu, pendapatan pemerintah berhasil dihidupkan kembali melalui instrumen final senilai R55,6 miliar dari 1.390 tindakan di bidang cukai, tutup Skolani.
Sebelumnya, Pengamat Ekonomi Candra Fajri Ananda menekankan pentingnya menyeimbangkan kebijakan cukai rokok untuk meminimalkan dampak negatif terhadap kelangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT) dan perekonomian. Salah satu rekomendasi utama adalah mempertimbangkan moratorium.
Dia mengatakan bahwa penangguhan kenaikan tarif yang tidak sah adalah pilihan yang lebih bijaksana untuk menjaga keberlanjutan IHT dan mencegah peningkatan distribusi rokok ilegal, sambil menjaga pendapatan pemerintah tetap stabil dan sektor lapangan kerja yang bergantung pada industri rokok.
Jika tarif cukai bertujuan untuk mencapai keseimbangan antar pilar kebijakan IHT, maka tarif cukai sebesar 4-5% (dari tarif yang berlaku saat ini) merupakan tarif cukai yang dapat digunakan untuk mencapai keseimbangan antara pendapatan pemerintah dan keberlanjutan. . Industri Hasil Tembakau (IHT).
Dia berkata: “Menaikkan tarif di atas batas ini berisiko meningkatkan prevalensi rokok ilegal karena konsumen beralih ke produk yang lebih murah dan ilegal.”
Kajian Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE – FEB UB) menunjukkan bahwa kenaikan tarif pajak ilegal yang tidak sesuai dengan daya beli masyarakat justru meningkatkan prevalensi rokok ilegal. Data simulasi yang dilakukan menunjukkan bahwa setiap kenaikan tarif pajak ilegal menyebabkan peningkatan persentase rokok ilegal yang beredar sehingga berdampak pada penurunan potensi pendapatan negara hingga Rp5,76 triliun per tahun.
“Kenaikan tarif cukai berdampak negatif terhadap volume produksi rokok legal. Kenaikan harga menggeser permintaan ke produk ilegal, sehingga industri rokok dihadapkan pada penurunan kapasitas produksi. “Hal ini menempatkan lapangan kerja di industri dalam risiko, terutama bagi pabrik-pabrik kecil yang tidak mampu mengimbangi kenaikan pajak cukai dan berkurangnya permintaan,” jelas Candra.
Candra mengatakan temuan utama dari kajian PPEK-FEB UB adalah adanya sweet spot dalam kenaikan cukai dimana kenaikan lebih lanjut tidak lagi berkontribusi terhadap pencapaian tujuan kebijakan.
Berdasarkan simulasi, pihaknya mengusulkan penetapan tarif cukai sebesar 4 hingga 5 persen untuk mencapai keseimbangan antara pengendalian rokok, stabilnya pendapatan pemerintah, dan keberlanjutan industri.
“Di kawasan ini penyebaran rokok ilegal masih terkendali, pendapatan pemerintah masih signifikan, dan industri rokok masih bisa bertahan tanpa harus mengorbankan banyak lapangan kerja,” tegas Kendra.
Pada titik ini PPKE-FEB UB menekankan pentingnya menyeimbangkan kebijakan pajak rokok agar dapat meminimalisir dampak negatifnya terhadap industri dan perekonomian. Salah satu rekomendasi utama adalah mempertimbangkan moratorium.
“Kami juga merekomendasikan penguatan pengawasan terhadap peredaran rokok ilegal melalui kolaborasi antara pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat untuk mengurangi potensi hilangnya pendapatan negara,” kata Kendra.