Kesehatan

Belanja Online dengan Pembayaran COD, Bagaimana Menurut Pandangan Islam?

Liputan6.com, Jakarta Pembayaran paket pada saat pengantaran atau cash on delivery (COD) seringkali menimbulkan konflik antara pembeli dan pengirim.

Pada banyak video viral, konflik dapat mengakibatkan pelanggan tidak mau membayar, pelanggan kecewa dengan paket, dan lain-lain. Untuk mengurangi hambatan tersebut, perusahaan e-commerce tersebut meluncurkan fitur COD di mana barang dapat diperiksa sebelum dibayar.

Selain sisi positif dan negatif COD, apakah sistem pembayaran seperti ini diperbolehkan dalam Islam?

Menurut Ustad Muhammad Sunander dari NU Online, hukum dasar jual beli adalah halal dan halal, sebagaimana dijelaskan Allah dalam ayat 125 surat al-Baqarah.  

 Dan Allah menghalalkan jual beli, dan mengharamkan riba.  

Yaitu: “Padahal Allah Ta’ala menghalalkan jual beli dan mengharamkan jual beli.”   

Namun jika perdagangan itu menyangkut hal-hal yang dilarang seperti ketidakpastian (gharar), spekulasi (musik), riba, penipuan, atau produk yang akan dijual adalah sesuatu yang tidak boleh dijual, maka aturan pertama menjadi haram. (Al-Qurtubi, Al-Jaami li Ahkmal Qur’an, [Kairo, Dar al-Qutb al-Masrya: 1964], jilid tiga, halaman 347).  

Kemudian, hal yang penting untuk dipahami sebelum menetapkan undang-undang adalah mengetahui kapan terjadinya akad jual beli pada kedua jenis COD tersebut. yaitu COD di tempat pembayaran dan COD dimana anda bisa mengecek barang terlebih dahulu.

“Karena dengan memahami secara benar tempat terjadinya akad jual beli, maka kita dapat menentukan hukumnya dengan benar,” kata Sundar, dilansir NU Online, Senin (15/10/2024).

Prinsipnya adalah: Al-Hakam al-Hizhu Farah An-Dawraha  

Yaitu: “Penilaian terhadap sesuatu adalah bagian dari uraiannya.”

Tempat pembayaran COD dalam akad jual beli masih diperdebatkan oleh para pemerhati ekonomi syariah. Apakah akad jual beli tersebut dilakukan secara online antara penjual dan pembeli, ataukah terjadi antara kurir (selaku agen penjual) dan pembeli pada saat barang sampai di alamat?  

Beberapa tokoh berpendapat bahwa perjanjian transaksi antara penjual dan pembeli terjadi di Internet melalui pesan, dan kemudian barang diantar melalui kurir.

Hal ini didukung dengan Pasal 1458 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata).   Dikabarkan telah segera terjadi kesepakatan antara pihak penjual dan pembeli mengenai barang dan harganya, meskipun barang tersebut belum diserahkan dan harganya belum dibayar.

Nah, dalam Islam, khususnya mazhab Syafi’i, hal seperti itu dilarang, karena termasuk dalam kategori jual beli hutang, sebagaimana Hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. kamu berkata:  

 Insya Allah, Insya Allah, Insya Allah 

Artinya: “Rasulullah SAW melarang jual beli secara kredit.” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Balogh al-Maram, [Riyadh, Dar al-Qabas Lin Nasir dan Komentar: 2014], halaman 323).  

Sebab, setelah penandatanganan akad, pembeli dan penjual berpisah tanpa memperdulikan barang dan harganya. Barang dan harga hanya dikutip ketika kurir sudah sampai di alamat tujuan. Itulah inti transaksi ini dalam jual beli hipotek.  

Namun yang harus diperhatikan adalah perjanjian itu dibuat melalui pesan atau tertulis (surat).

Selain itu, akad tersebut mengambil tempat pembeli sehingga mengharuskan kedua belah pihak berniat membeli dan menjual pada saat itu juga. 

 Pesan tersebut harus segera diterima dengan sepengetahuannya (ucapan: dan tulisan) dsb.  

Artinya: “Dan tidak boleh menulis di atas sesuatu yang bukan air atau udara, maka boleh saja membuat akad dengannya, namun harus ada niat, meskipun ada pada pihak yang membuat perjanjian.” Jadi, terserah Anda untuk menerimanya dengan cepat. – Sirwani, Tahfah al-Mahatah dan Hawasi Sirwani, [Mesir, Al-Muktabah Al-Kabira: 1983], Volume IV, halaman 221-222).  

Dengan demikian, solusi yang diambil oleh pengguna fitur COD adalah tidak perlu mencari kontrak saat menghubungi penjual secara online, melainkan berniat berjanji untuk membeli. Sebab apabila salah satu pihak tidak bersedia mengadakan akad, maka akibat hukum akad tersebut akan gugur. Terlebih lagi, meskipun akad tersebut haram karena menimbulkan jual beli dengan imbalan kredit, namun seorang muslim yang yakin dengan fikih Syafi’i dapat mengikuti pendapat ulama lain yang membolehkannya: mazhab kepemilikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *