BI Telah Salurkan Rp 259 Triliun Insentif Likuiditas Bank hingga Oktober 2024
thedesignweb.co.id, Bank Jakarta Indonesia (BI) telah menyalurkan rekomendasi kebijakan likuiditas makro (KLM) sebesar Rp 259 triliun hingga Oktober 2024.
Gubernur Bank Indonesia Perry Varjiyo menjelaskan sebesar 120,9 triliun dari jumlah tersebut dialokasikan kepada bank-bank BUMN sebesar RP. dan KCBA sebesar Rp 2,6 triliun.
Insentif KLM diperuntukkan bagi sektor-sektor utama yaitu sektor Hilirisasi Minerba dan Pangan, sektor Otomotif, Perdagangan dan Listrik, Gas dan Air (LGA), sektor Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta UKM. Validitas didukung oleh operasi. “Transaksi dunia usaha tetap berjalan sejalan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi yang positif,” kata Perry dalam pengumuman hasil RDG Bank Indonesia November 2024. Gedung, Jakarta, Rabu (20/11/2024).
Lebih lanjut, BI mencatat pertumbuhan kredit pada Oktober 2024 tetap kuat sebesar 10,92% (y/y). Dari sisi penawaran, pertumbuhan kredit yang kuat didukung oleh terjaganya bunga pinjaman, berlanjutnya alokasi aset tunai ke kredit oleh perbankan dan pertumbuhan simpanan, serta dampak positif dari KLM Bank Indonesia.
Di sisi lain, secara sektoral, pertumbuhan kredit masih tetap kuat di berbagai sektor perekonomian, khususnya sektor jasa dunia usaha, perdagangan dan industri.
Berdasarkan kelompok konsumsi, pertumbuhan utang modal, utang investasi, dan utang konsumsi masing-masing sebesar 9,25% (tahunan), 13,63% (tahunan), dan 11,01% (tahunan) pada Oktober 2024. Pembiayaan syariah tumbuh sebesar 11,93% (yoy). Utang UMKM tumbuh sebesar 4,76% (y/y).
Pada akhirnya, katanya, dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan kredit diperkirakan akan tetap antara 10 dan 12 persen pada tahun 2024 dan meningkat pada tahun 2025.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan (BI rate) sebesar 6,00% pada November 2024, suku bunga deposit facility sebesar 5,25%, dan suku bunga lending facility sebesar 6,75% pada November 2024.
Rapat Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 19-20 November memutuskan untuk mempertahankan suku bunga BI rate sebesar 6 persen, suku bunga deposit facility sebesar 5,25 persen, dan suku bunga fasilitas pinjaman sebesar 6,75 persen dan 6,75 persen, kata Gubernur Bank Indonesia Perry. Varjiyo. Pada Konferensi Pers RDG Oktober 2024, Gedung BI, Jakarta, Rabu (20/11/2024).
Keputusan tersebut sejalan dengan pedoman kebijakan moneter untuk memastikan inflasi tetap terkendali pada sasaran 2,5±1% pada tahun 2024 dan 2025, sehingga mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Pari menegaskan, tujuan kebijakan moneter dalam jangka pendek adalah menjaga stabilitas nilai tukar rupee dari dampak meningkatnya ketidakstabilan pasar keuangan global dan perkembangan politik di Amerika Serikat.
Ia mengatakan: Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati cakupan kebijakan penurunan suku bunga dan mempertimbangkan prospek inflasi, nilai tukar rupiah, dan pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran juga terus diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Kebijakan makroprudensial yang longgar terus digalakkan untuk mendorong kredit/pembiayaan perbankan pada sektor-sektor prioritas pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja, termasuk UKM dan perekonomian lokal, dengan tetap mempertimbangkan landasan hukum untuk kekebalan.
Oleh karena itu, kebijakan sistem pembayaran juga diarahkan untuk mendorong pertumbuhan, khususnya pada sektor komersial, besar dan ritel serta usaha kecil dan menengah, guna memperkuat integritas infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas jangkauan. adopsi digitalisasi. metode pembayaran
Sebelumnya, Ekonom Bank Mandari Reni Eka Putri memperkirakan Bank Indonesia (BI) akan mempertahankan BI-Rate pada BI-Rate pada rapat Dewan Pengurus (RDG) BI November 2024 karena inflasi terkendali dan nilai tukar rupiah terjaga
Reni mengutip Antara: “Untuk perkiraan hasil RDG hari ini, kami melihat BI akan mempertahankan BI rate sebesar 6 persen dengan melihat perkembangan eksternal dan internal.”
Ketidakpastian di pasar keuangan masih tinggi karena nilai tukar rupiah terdepresiasi hingga Rp15.800 per dolar AS meski inflasi dalam negeri terkendali, kata Reni.
Sementara dari sisi faktor risiko eksternal, pernyataan Bank Sentral AS atau Federal Reserve yang akan bertindak hati-hati dalam menurunkan suku bunga dan tidak terburu-buru, menimbulkan ekspektasi penurunan Federal Reserve Funds Rate (FFR) di masa depan. ) tidak boleh agresif.
Demikian pula dengan kebijakan Presiden terpilih AS Donald Trump yang diperkirakan berpotensi meningkatkan inflasi AS, sehingga berdampak pada penentuan waktu penurunan FFR lebih lanjut.