Regional

DESIGN WEB BMKG Prediksi Kekeringan Tahun 2024 Lebih Panjang, Pakar UGM Sebut Pentingnya Mitigasi Kekeringan

thedesignweb.co.id, Yogyakarta – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan kekeringan tahun ini akan berlangsung pada Mei hingga Oktober 2024. Pakar mitigasi bencana Fakultas Geografi UGM, Jati Mardiatno mengatakan, prediksi BMKG tidak demikian. sepenuhnya salah karena tanda-tanda perubahan iklim dan mempengaruhi perubahan musim di Indonesia, sehingga kekeringan penting untuk dikurangi. Tingkat keparahannya tidak sesuai perkiraan sebelumnya, kata Jati, Jumat, 20 September 2024.

Menurut Djati, perubahan iklim disebabkan oleh perbedaan kondisi geografis dan hidrogeologi Indonesia sehingga menyebabkan kekeringan di beberapa wilayah, sedangkan wilayah lainnya belum bisa digolongkan sebagai bencana kekeringan. Ia mencontohkan, di Gunung-Kidul dan Nusa Tenggara Timur diketahui sulit mendapatkan sumber air, apalagi saat musim panas tiba dan musim panas berlangsung lebih lama dibandingkan tempat lain.

Jati mengatakan untuk mengetahui rawan atau tidaknya suatu daerah kekeringan perlu memperhatikan jenis dan wilayah iklim daerah tersebut, komposisi geologi material dan sistem alam yang ada pada daerah tersebut. Selain itu, perubahan iklim juga mempengaruhi curah hujan di beberapa wilayah di Indonesia. “Prediksi iklim sebelumnya menyebutkan puncak musim kemarau akan terjadi pada Agustus hingga September.”

Menurut Djati, September merupakan bulan dimana sumber air mengering sehingga penting bagi pemerintah atau masyarakat untuk mengurangi kekeringan tersebut. Akibat perubahan iklim, tidak menghilangkan hujan pada bulan Agustus-September, bahkan tidak sedikit.

Dengan adanya perubahan iklim, sebagian besar sektor pertanian paling terkena dampaknya karena saluran irigasi tidak memadai, tanaman gagal tumbuh, dan sawah mengering. Hal ini berdampak pada kekurangan pangan dan kenaikan harga pangan pokok. “Musim kemarau panjang tidak terlalu parah sehingga kecil kemungkinan gagal panen,” ujarnya.

Menurut dia, pemerintah dan masyarakat mewaspadai dan memperkirakan datangnya kemarau panjang untuk mengairi sawah, bukan hanya air hujan seperti sungai, danau, dan waduk. Dyati mengatakan, jika kondisi geologi wilayah tersebut tidak memiliki sumber air, maka tidak menutup kemungkinan untuk menanam tanaman komersial yang tidak membutuhkan banyak air.

Untuk mengatasi ancaman kekeringan, cara yang paling mudah dilakukan adalah dengan menyediakan air dan memompa air ke dalam tanah oleh pemerintah setempat. Menurut Djati, Gunung Kidul misalnya, memiliki potensi airtanah yang bisa dimanfaatkan. Secara geologis, tanah di Gunung Kidul mengandung material batuan yang mudah larut sehingga memungkinkan air hujan yang masuk ke dalam tanah tertahan dalam jangka waktu lama di bawah sungai dan gua dengan kedalaman hingga 100 meter. “Yang terdekat sekitar 50 meter, jadi sungainya dalam sekali,” kata Djati.

Pilihan lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi kekeringan adalah pembangunan sumber air buatan seperti waduk atau bendungan. Cara ini sering digunakan di wilayah Nusa Tenggara Timur dalam persiapan menghadapi bencana kekeringan dan kekeringan. “Waduk tersebut harus menampung air pada musim hujan agar dapat dimanfaatkan pada musim kemarau,” kata Djati.

Upaya mitigasi kekeringan ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, namun masyarakat juga dapat secara mandiri memenuhi kebutuhan airnya pada musim kemarau. Cara termudah adalah dengan membangun sistem penyimpanan air hujan di waduk. Air ini dapat digunakan untuk irigasi dan keperluan rumah tangga seperti toilet dan memasak jika dimurnikan. “Tidak harus selalu menunggu pemerintah, masyarakat sebenarnya bisa terlibat sendiri,” kata Djati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *