Global

China, Denmark hingga Inggris Pamer Ambisi Atasi Perubahan Iklim, Siapa Lebih Baik?

thedesignweb.co.id, Jakarta – Seluruh negara di dunia sedang berjuang untuk mengatasi dan meminimalkan dampak perubahan iklim. Tujuan utamanya adalah membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius, dengan harapan dapat mengurangi emisi sebesar 45 persen pada tahun 2030 dan mencapai nol emisi pada tahun 2050.

Lebih dari 140 negara, termasuk negara-negara penghasil polusi utama seperti Tiongkok, Amerika Serikat (AS), India, dan Uni Eropa, telah menetapkan nol target yang mencakup sekitar 88 persen emisi global.

Sementara itu, Indonesia telah meningkatkan target penurunan emisinya menjadi 31,89 persen pada tahun 2030, dengan target yang didukung secara global sebesar 43,20 persen, menurut Nationally Defeded Contribution (NDC) terbaru.

Lalu bagaimana dengan upaya-upaya lain di dunia?

Perwakilan dari Tiongkok, Denmark, dan Inggris juga berbagi pengalaman tentang bagaimana negara mereka mengatasi tantangan iklim pada Net-Zero Summit 2024 (INZS) di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Association of Indonesia (FPCI).

Utusan khusus Tiongkok untuk perubahan iklim, Liu Zhenmin, mengatakan kunci untuk mengurangi emisi adalah dengan mendorong transisi energi.

“China telah merumuskan perubahan kebijakan untuk mengalihkan seluruh pengendalian konsumsi ke pengendalian emisi karbon, termasuk pengendalian emisi total,” kata Renmin pada INZS 2024 di Jakarta, Sabtu (24/08/2024).

“Perubahan kebijakan ini akan memberikan landasan yang baik bagi Tiongkok untuk beralih dari proses penggunaan karbon maksimum ke proses penyerapan karbon.”

Upaya ini bisa dikatakan berhasil, dibuktikan dengan penurunan persentase konsumsi energi hingga 59,56 persen.

“Ini adalah proses bersejarah revolusi energi Tiongkok, yang mengarah pada perbaikan lingkungan,” tambah Liu.

Kemajuan Tiongkok dalam produksi kendaraan listrik juga berkontribusi terhadap transisi energi global.

“Tiongkok akan terus bekerja keras untuk mendorong inovasi teknologi dan produksi di sektor yang bersih dan rendah karbon, menyediakan energi dan produk berkualitas tinggi atau upaya global untuk memerangi perubahan iklim,” lanjutnya.

Berbeda dengan Tiongkok, Denmark berfokus pada upaya memerangi perubahan iklim dengan merevisi target dan undang-undang.

Denmark percaya bahwa NDC, yang disiapkan selama lima tahun, tidak cukup dan memerlukan tinjauan tahunan.

“Dalam undang-undang kami, kami telah menciptakan roda kebijakan yang kami jalankan setiap tahun,” kata utusan khusus Denmark untuk perubahan iklim, Thomas Anker Christensen.

Prosesnya dimulai pada bulan September ketika pemerintah mengajukan rencana iklim untuk tahun depan, yang kemudian disampaikan kepada parlemen. Rencana tersebut mencakup langkah-langkah spesifik yang harus diambil untuk mengurangi emisi dan memenuhi target iklim.

Kemudian program tersebut dibahas melalui konsultasi dengan komite anggaran di parlemen. Proses selanjutnya adalah perdebatan anggaran, pengukuhan undang-undang anggaran.

Setelah itu, Dewan Iklim independen, yang terdiri dari para ekonom dan ilmuwan, akan menyampaikan penilaiannya terhadap rencana iklim. Mereka akan melontarkan pendapat dan kritiknya terhadap kebijakan yang dianggap tidak efektif.

Pada saat yang sama, pemerintah juga harus melaporkan kepada Orkustofnun mengenai status pelaksanaan rencana iklim tahun sebelumnya.

“Siklus ini berlanjut setiap tahun hingga tahun 2030, dan ini merupakan cara untuk memastikan kita tetap berada pada jalur yang benar,” kata Tomasz.

Pada saat yang sama, Inggris mempunyai caranya sendiri dalam mengatasi masalah iklim.

Yang disebut sebagai “negara hitam” ini menganut prinsip bahwa semua rencana dan kebijakan terkait perubahan iklim harus didasarkan pada ilmu pengetahuan.

Laporan keanekaragaman hayati yang dibuat oleh ekonom Partha Dasgupta dan laporan Lord Nicholas Stern mengenai ekonomi perubahan iklim menjadi masukan bagi kebijakan Inggris.

“Dengan ilmu pengetahuan yang baik, kebijakan yang baik harus mengikuti kebijakan.” Dan kebijakan harus didasarkan pada bukti, data, dan ilmu pengetahuan,” kata Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor-Leste Dominic Jermy.

Di sisi lain, peralihan ke sumber energi terbarukan juga menjadi salah satu cara Inggris mengatasi permasalahan iklim.

“Tidak akan ada lagi pembangkit listrik tenaga batu bara di Inggris setelah tahun ini dan itu juga berarti pertumbuhan ekonomi yang sangat penting bagi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya,” tambahnya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *