Cuaca Besok Selasa 1 Oktober 2024: Jabodetabek Pagi Berawan Tebal, Malam Cerah Berawan
thedesignweb.co.id, Jakarta – Pada Selasa, 1 Oktober 2024, awan tebal diperkirakan terjadi di seluruh wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Berikut prakiraan cuaca besok.
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Jakarta pada siang hari akan berawan, berawan lebat, dan berawan sebagian.
Setelah malam hari, seluruh langit Jakarta akan berawan, kecuali Jakarta Barat berawan dan Jakarta Utara berawan lebat.
Daerah penyangga yakni Bekasi, Depok, dan Kota Bogor, Jawa Barat, pada siang hari diperkirakan berawan atau berawan lebat, dan pada malam hari cerah berawan.
Di Kota Tangerang, Banten, cuaca diperkirakan cerah berawan pada siang hari dan berawan pada malam hari, seperti dilansir dari situs resmi BMKG, www.bmkg.go.id.
Prakiraan cuaca lengkap Jabodetabek yang dikutip thedesignweb.co.id dari situs resmi BMKG: Kota Pagi Siang Sore Jakarta Barat Berawan Lebat Berawan Cerah Berawan Jakarta Pusat Berawan Cerah Berawan Mendung Cerah Jakarta Berawan Lebat Berawan Lebat Berawan Lebat Kepulauan Seribu Banyak Berawan Cerah Berawan Bekasi Cerah Cerah Cerah Cerah Cerah Berawan Depok Cerah Cerah Cerah Cerah Berawan Berawan Cerah Berawan Tangerang Berawan Berawan
Sebelumnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan kekeringan tahun ini akan berlangsung lebih lama pada Mei hingga Oktober 2024.
Djati Mardiatno, pakar kesiapsiagaan bencana Fakultas Geografi UGM, mengatakan prakiraan BMKG tidak sepenuhnya salah, karena gejala cuaca berubah-ubah dan mempengaruhi perubahan musim di Indonesia, sehingga mitigasi kemarau menjadi penting.
Tingkat keparahannya tidak seperti yang diharapkan sebelumnya, kata Djati, Jumat, 20 September 2024.
Menurut Djati, penyebab terjadinya perubahan iklim adalah perbedaan karakteristik geografis dan hidrogeologi Indonesia, sehingga menyebabkan kekeringan di beberapa tempat, namun di tempat lain bahkan tidak bisa digolongkan sebagai bencana kekeringan.
Ia mencontohkan seperti Gunung Kidul dan Nusa Tenggara Timur yang terkenal sulit mendapatkan sumber air, apalagi saat musim kemarau tiba dan musim kemarau berlangsung lebih lama dibandingkan daerah lain.
Djati mengatakan, menilai apakah suatu daerah berpotensi kekeringan memerlukan perhatian terhadap jenis dan wilayah iklim wilayah, komponen geologi, dan sistem alam di wilayah tersebut.
Selain itu, perubahan iklim juga mempengaruhi curah hujan di banyak wilayah di Indonesia.
“Menurut perkiraan cuaca sebelumnya, puncak musim kemarau terjadi pada Agustus hingga September,” kata Djati.
Menurut Djati, bulan September merupakan bulan dimana biasanya musim semi mengering sehingga penting bagi pemerintah atau masyarakat untuk melakukan penanggulangan kekeringan.
Akibat perubahan iklim, tidak menutup kemungkinan akan turun hujan pada bulan Agustus-September, meski sedikit.
Perubahan iklim paling berdampak pada banyak sektor pertanian, karena saluran irigasi tidak mencukupi, tanaman tidak bisa tumbuh, dan sawah mengering. Hal ini akan berdampak pada kekurangan pangan dan kenaikan harga bahan pangan pokok.
“Kekeringan panjang tidak terlalu ekstrim sehingga kecil kemungkinan gagal panen,” jelas Djati.
Ia mengatakan, pemerintah dan masyarakat tetap waspada dan menunggu musim kemarau panjang untuk mengairi sawah dan tidak hanya mengandalkan air hujan dari sungai, danau, atau waduk.
Djati mengatakan, jika ciri geologis suatu daerah tidak memiliki sumber air alami, maka tidak menutup kemungkinan dapat ditanami tanaman komoditas yang tidak membutuhkan banyak air.
Cara termudah untuk mengatasi ancaman kekeringan adalah penyediaan air kota dan pemompaan air tanah.
Menurut Djati, misalnya, Gunung Kidul memiliki potensi air bawah tanah yang dapat dimanfaatkan.
Secara geologis, tanah Gunung Kidul memiliki material batuan yang mudah larut dan memungkinkan air hujan yang masuk ke dalam tanah tertampung dalam jangka waktu lama di sungai dan gua bawah tanah sedalam 100 meter.
“Yang paling dalam sekitar 50 meter, jadi sungainya sangat dalam,” kata Djati.
Alternatif lain untuk mengatasi kekeringan adalah dengan membuat sumber air buatan seperti waduk atau bendungan. Cara ini sering digunakan di Nusa Tenggara Timur untuk bersiap menghadapi bencana musim kemarau dan kekeringan.
“Waduk tersebut menyimpan air pada musim hujan untuk digunakan pada musim kemarau,” kata Djati.
Upaya mitigasi kekeringan ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, masyarakat juga dapat secara mandiri memenuhi kebutuhan airnya pada musim kemarau.
Cara paling sederhana adalah dengan membuat sistem penyimpanan air hujan di tempat penampungan air. Air ini dapat digunakan untuk irigasi dan keperluan rumah tangga seperti toilet dan memasak jika sudah diolah.
“Tidak harus selalu menunggu pemerintah, masyarakat sebenarnya bisa terlibat secara mandiri,” kata Djati.