IHSG Turun Anjlok dari 1%, Ada Apa?
thedesignweb.co.id, Jakarta Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berlayar ke zona merah pada perdagangan hari ini, Senin 16 Desember 2024, sekitar pukul 15.00 WIB, IHSG turun 1,17 persen ke 7.238 kisaran 7.320-7.204.65.
Para analis menilai turunnya IHSG disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah melemahnya nilai tukar Rupiah dan aksi jual asing. Meski demikian, sejumlah data perekonomian kuartal IV diperkirakan positif sehingga bisa menopang IHSG hingga sisa tahun ini.
“Saya simpulkan melemahnya IHSG merupakan dampak dari melemahnya nilai tukar Rupiah dan tekanan jual asing sehingga IHSG terus melemah. Namun masih ada harapan IHSG bisa bertahan di atas level 7.245,” kata William Hartanto. Senin (16/12/2024) kepada thedesignweb.co.id.
Dihubungi terpisah, Nafan Aji Gusta, Mirae Asset Sekuritas, analis senior informasi investasi, menjelaskan sejumlah sentimen domestik dan global yang turut mendorong pergerakan IHSG. Dari sisi domestik, NAFAN menilai pelaku pasar masih menunggu data neraca perdagangan Indonesia yang diperkirakan akan mengalami surplus.
– Ya, para pelaku pasar masih menantikannya. Pasalnya pelemahan IHSG sebenarnya cukup dalam, namun langsung ada tekanan beli di sana. Oleh karena itu, pelemahan IHSG tidak terlalu kuat karena pelaku pasar melihat potensi surplus neraca perdagangan Indonesia, kata Nafan.
Meskipun prospek perekonomian global berpihak pada global, namun prospek perekonomian global akan tetap stabil. Menurut Nafan, faktor tersebut tidak terlepas dari adanya fragmentasi perdagangan dan meningkatnya ketegangan geopolitik. Dimana masing-masing juga mempengaruhi perkiraan pertumbuhan ekonomi global seiring dengan perang dagang 2.0.
“Efeknya juga terkait dengan berbagai hal. Misalnya terganggunya rantai pasok kemudian juga berdampak pada hubungannya dengan tekanan inflasi, sehingga tidak memungkinkan bank sentral untuk menerapkan kebijakan pelonggaran kebijakan moneter yang agresif pada tahun 2025,” ucap Nafan.
NAFAN mencatat, pada awal September, The Fed berpeluang memangkas suku bunga acuan sebesar 25 bps sebanyak empat kali pada tahun 2025. Namun, melihat perkembangan saat ini, NAFAN memperkirakan The Fed hanya akan memangkas sebanyak 2 kali pada tahun 2025.
“Paling lambat tahun 2025, The Fed hanya digunakan dua kali dalam penerapan kebijakan pelonggaran moneter,” kata Nafan.
Di sisi lain, Nafan memandang pasar saham dan obligasi global, khususnya AS, menguat. Menurut Nafan, hal ini terjadi karena adanya window covering di negara-negara maju, sehingga banyak dana investor yang mengalir ke negara-negara tersebut, dibandingkan menyasar pasar berkembang.
“Negara-negara maju sedang mengalami window covering. Jadi, capital inflow masuk ke negara-negara maju dan ini memang akibat dari negara-negara emerging market yang mengalami capital outflow,” jelas Nafan.
Selain window dressing, terdapat pula dorongan untuk menstimulasi Tiongkok agar meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri, yang juga memungkinkan dana asing mengalir ke sana. “Jadi stimulus ini ada dampak sampingnya. Capital inflow masuk ke pasar Tiongkok dan capital outflow juga terjadi di negara-negara emerging market lainnya,” tutup Nafan.