Ini Dampak Buruk Kemasan Rokok Polos jika Diterapkan
thedesignweb.co.id, Ekonom Jakarta kembali menegaskan potensi kerugian ekonomi akibat rencana penerapan standarisasi bungkus rokok tidak bermerek atau bungkus polos yang dituangkan dalam rancangan peraturan Menteri Kesehatan (draft Permenkes) sebagai aturan turunan dari peraturan pemerintah (PP). . . Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
Andry Satrio Nugroho, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Economic and Financial Development (INDEF), menjelaskan perhitungan potensi dampak ekonomi dari tiga skenario kebijakan terkait industri tembakau dalam PP 28/. Tahun 2024, rancangan peraturan Menteri Kesehatan yakni rokok tak bermerek kemasan polos, larangan penjualan dalam radius 200 meter, dan larangan iklan, bisa mencapai 308 miliar. Penerimaan Rp dan pajak akan turun Rp 160,6 triliun.
“(Apa akibat rokok tak bermerek kemasan polos?) Downgrade karena tidak ada lagi pemisahan antar rokok lainnya. Meniru rokok ilegal itu mudah, tinggal ganti sumbernya. Misalnya saya pemain ilegal di industri semacam ini, saya cukup membuat merek yang sesuai dengan aslinya, lalu apa bedanya? Andry, dikutip Jumat (27/9/2024), menjelaskan, “Sementara itu, pendapatan negara juga bisa hilang di sana.
Selain itu, Andrey menyoroti peraturan zonasi yang melarang penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan yang masih belum jelas karena belum ditetapkan secara jelas tempat pendidikan yang dimaksud.
Selain itu, jika pembatasan penjualan tempat bermain anak juga diterapkan maka akan dianggap tidak adil dan justru menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha akibat adanya pungutan liar di lapangan.
“Ini perlu kita perjelas, di satuan pendidikan mana letaknya? Karena masih belum jelas. Dampaknya akan menimbulkan datangnya rokok ilegal dan mudahnya pembelian oleh warga sekitar, ujarnya.
Andrey pun menjelaskan kemungkinan dampak aturan tersebut jika diterapkan pada masa pemerintahan Prabowo-Gibran. Ia kembali menegaskan, potensi hilangnya pendapatan pemerintah bisa mencapai lebih dari Rp 200 triliun, terutama dari hilangnya penerimaan cukai hasil tembakau. Potensi kerugian ini juga akan menghambat target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% yang direncanakan pemerintah baru.
“308 triliun rupiah itu total dampak ekonominya, 160 triliun rupiah itu diterima dari cukai tembakau saja. Sebaiknya kita bahas dulu. Karena serikat pekerja, kementerian lain tidak diundang (berdiskusi dengan kementerian. Kesehatan)” Kami kita negara hukum, makanya kita ikuti hukumnya. Harus konsisten,” tegasnya.
Dari sudut pandang pengusaha tembakau, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) Benny Wachjudi menjelaskan, rokok ilegal merupakan ekses dari berbagai peraturan yang menyesakkan. Kini, dengan masuknya PP 28/2024 dan aturan bungkus rokok tidak bermerek dalam RUU Menteri Kesehatan, negara harus bersiap merugi triliunan rupee.
“Soal kesehatan, kami sepakat tidak ingin Indonesia menjadi negara yang tidak sehat. Namun dalam penyusunan peraturan ini, kita tidak bisa hanya bicara soal kesehatan saja. Kita harus mengkaji PP 28/2024 dan menghentikan rancangan peraturan Menteri Kesehatan. “Karena masih banyak kementerian, khususnya Kementerian Perindustrian, yang belum diundang,” jelasnya.
Sementara itu, dari sisi ritel, Roy N. Mandey, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), mengatakan permasalahan perekonomian ini harus lepas dari kesehatan dan tidak bisa menjadi permasalahan Kementerian Kesehatan saja.
Sebelum aturan tersebut berlaku, pengecer masih harus menghadapi maraknya rokok ilegal yang diakui Roy merugikan banyak pihak.
“(Peraturan Kementerian Kesehatan) akan menurunkan omzet sebesar Rp 48 triliun. Lalu bagaimana cara menghitung jarak (larangan zona 200m)? “Hal ini juga akan menyebabkan orang-orang pergi ke toko dan memeras pemilik usaha, dan hal ini sudah terjadi,” katanya.
Selain itu, Aprindo yang mewakili pedagang tradisional yang terkena aturan zonasi penjualan juga menyatakan perlu adanya mitigasi dari pemerintah. Ia juga menyerukan peninjauan kembali terhadap cakupan pendidikan yang diberikan kepada anak-anak agar menjauhi rokok. Roy menyayangkan aturan dengan dampak sebesar itu tidak melibatkan banyak pihak yang akan merasakan dampaknya.
“Kami ingatkan bahwa dalam suatu undang-undang harus ada mitigasi kontinjensi. Ini tidak terlalu berdampak pada perekonomian, tidak 200 meter, tidak kaya, hanya bungkus rokok tidak bermerek, jadi kita pikirkan judicial review. “Cara terbaiknya adalah berdiskusi dan mengajak kita duduk bersama,” tutupnya.