Jangan Lakukan 2 Hal Ini Saat Hadapi Anak Korban Kekerasan Seksual
thedesignweb.co.id, Jakarta – Banyak kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak saat ini. Berdasarkan data kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia pada 1 Januari hingga 27 September 2023, mayoritas korbannya adalah remaja berusia 13 hingga 17 tahun.
PP IDAI Ketua Bagian Organisasi, Ph.D. Ari Praitno, Sp.A(K), menyoroti bahwa banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, masih menghadapi banyak tantangan dalam hal kesadaran dan pemahaman terhadap prevalensi dan dampak negatif pelecehan seksual terhadap anak.
Hal tersebut disampaikannya pada media briefing bertajuk “Cara Mendidik dan Melindungi Anak dari Kekerasan dan Pelecehan Seksual” yang diadakan secara online pada Kamis, 20 Juni 2024.
“Trauma mental dan fisik yang dialami para penyintas sungguh tidak dapat dibayangkan, apalagi dalam masyarakat yang sering kali menyalahkan korban, sehingga membuat anak-anak semakin tidak mampu mengungkapkan perasaannya,” kata Ari.
Ari menjelaskan, dinamika pelecehan seksual pada anak-anak berbeda dengan orang dewasa karena anak-anak jarang mengungkapkan pelecehan seksual kepada publik setelah kejadian tersebut.
Pada kesempatan yang sama, anggota Pokja Perlindungan Anak PP IDAI, Prof. Meita Dhamayanti, Sp.A(K), M.Kes menjelaskan, sangat sulit mengatasi trauma pada anak yang mengalami pelecehan seksual.
“Trauma psikologis akan menimbulkan akibat yang sangat-sangat serius dan membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh. Khususnya bagi anak-anak karena dampaknya akan terasa lebih lama,” kata Meita.
Selain itu, di bawah ini Meita menjelaskan apa yang tidak boleh dilakukan saat menangani anak korban pelecehan seksual untuk memastikan korban dapat pulih dengan baik dari traumanya.
Meita menegaskan, kekerasan tidak boleh dilakukan terhadap korban kekerasan.
“Kita semua, para dokter anak dan pemerhati anak, tidak boleh menghina korban kekerasan karena mereka pernah mengalami peristiwa sulit dan kemudian mengalami kekerasan yang lebih parah lagi, seperti interogasi terus-menerus dan minuman vodka. Kami berharap hal seperti itu tidak terjadi,” jelas Meita.
Pertanyaan berkepanjangan yang diajukan kepada anak korban kekerasan dan pelecehan seksual dapat menyebabkan mereka mengalami depresi.
Meita menyarankan untuk memberikan dukungan emosional kepada anak, salah satunya adalah menjaga privasinya.
“Tentu saja kami tidak menilai dukungan emosional, kami tidak menghakimi mereka, kami melindungi privasi mereka karena mereka juga sangat kesulitan dengan situasi ini,” ujarnya.
Meita juga menyarankan untuk tidak menghakimi atau mengadili korban kekerasan dan pelecehan seksual.
“Mereka pernah mengalami peristiwa traumatis seperti ini lalu dinilai dari lingkungannya, hal itu tidak boleh kita lakukan,” kata Meita.
Seperti yang juga dijelaskan Ari di atas, dalam masyarakat yang sering menyalahkan korban kekerasan seksual, hal ini membuat korban semakin tertekan hingga sulit mengungkapkan perasaannya.
Anak-anak korban kekerasan dan pelecehan seksual memerlukan dukungan dari komunitasnya, seperti orang tua dan orang-orang terdekatnya, untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung yang akan membantu pemulihan korban.
Pelecehan anak dan pelecehan seksual menimpa anak-anak, berikut Meita menyebutkan akibat yang umum terjadi antara lain: Stres, anak korban pelecehan seksual bisa saja mengalami stres dan gangguan mental. depresi Kecemasan, anak bisa menjadi gelisah yang seringkali membuat mereka marah. Keinginan untuk bunuh diri. Pelanggaran kebiasaan seksual di kemudian hari. Masalah kesehatan seperti penyakit menular seksual pada anak merupakan akibat dari kekerasan seksual terhadap anak.
Selain itu, anak-anak juga mengalami trauma akibat pelecehan seksual. Trauma ini merupakan luka yang dapat mengubah kehidupan dan masa depan seorang anak.