Regional

Jejak Gajah Mada dalam Tari Bedoyo Wulandaru

Liputan6.com, Yogyakarta – Tari Bedoyo Wulandaru merupakan perwakilan tari tradisional Banyuwangi. Gereja ini lahir sebagai ungkapan kebahagiaan pada keyboard Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada.

Dikutip dari Indonesiakaya.com, tarian ini merupakan ungkapan kebahagiaan Blambangan di masa lalu. Saat itu mereka kedatangan tamu istimewa yaitu keluarga besar Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gadjah Mada.

Gereja Bedoyo Wulandaru bisa dikatakan merupakan cerminan kegembiraan mereka ketika tamu mulia itu tiba di daerah mereka. Di setiap langkahnya, terlihat betapa bahagianya mereka menyambut tamu istimewa ini.

Nama tari Bedoyo wulandaru berasal dari kata wulandaru yang merupakan gabungan kata wulan dan ndaru. Wulan artinya bulan yang bisa diartikan sebagai penerang kegelapan. Sedangkan darru artinya bintang jatuh yang diyakini sebagai pertanda keberuntungan.

Saat itu, nama wulandaru dikaitkan dengan bedoyo yang merujuk pada tarian yang mereka bawakan. Bedoyo adalah ungkapan wanita penari.

Melalui tarian ini masyarakat Blambangan bermaksud agar kedatangan tamu istimewa tersebut tidak hanya membawa kebahagiaan. Lebih dari itu, kehadiran mereka merupakan berkah bulan dan keberuntungan.

Tari Bedoyo Wulandaru merupakan pengembangan dari musik sablang dan gandrung banyuwangi. Perkembangan ini juga mencakup aspek gerak tari dan musik.

Selama pertunjukan, para pengisi acara akan melemparkan nasi kuning di akhir pertunjukan. Nasi kuning dipercaya dapat mencegah segala penyakit dan gangguan.

Selain nasi kuning, mereka juga melempar drum besi. Dahulu benggol besi adalah uang. Besi tempa menunjukkan kesetiaan masyarakat terhadap pemerintah.

Hingga saat ini tari Bedoyo Wulandaru masih dilestarikan oleh masyarakat setempat. Tarian ini masih sering dipentaskan dalam berbagai acara budaya dan tahun.

 

Penulis: Resla

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *