Kenali Aneurisma, ‘Balon’ di Pembuluh Darah Otak yang Bisa Picu Stroke hingga Kematian
thedesignweb.co.id, Jakarta – Beberapa hari terakhir, dunia dihebohkan dengan meninggalnya seorang dokter dan selebritis yang diketahui mengidap aneurisma. Jadi apa itu aneurisma?
Dokter spesialis bedah saraf Mandaya Royal Hospital Puri subspesialis pembuluh darah, dr Mardjono Tjahjadi menjelaskan, aneurisma serebral merupakan penyakit dimana terdapat tonjolan pada pembuluh darah otak yang berbentuk balon akibat lemahnya dinding otak. pembuluh darah.
“Jika tidak segera diobati, tumor bisa meledak dan menguras suplai darah ke otak sehingga menyebabkan stroke atau kematian,” kata dokter bernama Dr. Kebahagiaan itu
Aneurisma otak lebih sering terjadi pada orang lanjut usia, namun bisa juga terjadi pada orang muda.
“Risiko seseorang terkena aneurisma meningkat pada wanita, usia 40 tahun ke atas, perokok, dan memiliki tekanan darah tinggi,” ujarnya. Gejalanya sulit dideteksi
Menurut statistik, 1 dari 50 orang menderita aneurisma, namun penyakit ini seringkali tidak menimbulkan gejala. Hingga kondisinya menjadi nyeri tanpa pengobatan atau pecahnya pembuluh darah. Padahal, jika aneurisma sudah pecah, peluang bertahan hidup hanya 50 persen.
“Hampir 90 persen penderita aneurisma tidak merasakan gejala apa pun. Namun secara umum, gejala yang muncul jika aneurisma sudah pecah adalah mual dan muntah, nyeri tenggorokan, pandangan kabur, kelopak mata turun, dan sebagian orang mengalami pingsan. ” . katanya .
Untuk alasan ini, Dr. Joy menyarankan agar dilakukan pemeriksaan atau penyelidikan pendahuluan. Misalnya dengan magnetic resonance imaging (MRI) atau MRA (magnetic resonance angiography).
“Jadi kalau terdeteksi ada benjolan bisa cepat diobati sebelum pecah,” ujarnya.
Apabila setelah dilakukan pemeriksaan MRI dan MRI ditemukan kelainan bentuk yang diduga aneurisma, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan DSA (digital Substraction Angiography).
DSA adalah prosedur pemeriksaan pembuluh darah dengan menggunakan cairan kontras dan sinar X yang hasilnya dapat dilihat langsung di komputer tanpa campur tangan tulang.
“Prosedur DSA itu dikenal dengan prosedur otak. Namun istilah tersebut kurang tepat. Pasalnya, DSA tidak bisa dilakukan hanya untuk diagnosis, tapi juga untuk pengobatan,” ujarnya.
Pada terapi DSA, dokter akan memasukkan sekrup atau kawat kecil ke dalam pembuluh darah di otak dan mengarahkannya ke tumor untuk menyumbat aliran darah ke area tersebut, sehingga aliran darah sesuai bentuk normalnya.
“Ketika gumpalan di pembuluh darah terisi benang dan tidak lagi menerima aliran darah, maka bekuan tersebut tidak dapat tumbuh kembali dan pecah,” ujarnya.
Selain DSA, tumor aneurisma bisa diperbaiki dari luar. Dokter akan membuka sebuah titik kecil di pelipis lalu dengan alat bekuan darah akan ditutup, sehingga tidak ada lagi aliran darah di area tersebut.
Pilihan pengobatan dengan DSA atau fiksasi eksternal akan disesuaikan dengan kondisi pasien, termasuk usia dan lokasi, ukuran dan jenis tumor.
Asalkan diobati sebelum patah tulangnya, maka pasien bisa kembali beraktivitas. Sayangnya, kebanyakan orang berobat ke dokter setelah aneurismanya kolaps atau pecah, kata dr.
Mengingat situasi ini, dianjurkan untuk memeriksa aneurisma secara teratur. Selain itu, perubahan gaya hidup seperti berhenti merokok, mengurangi konsumsi alkohol, mengonsumsi makanan sehat, dan rutin berolahraga dapat membantu mengurangi risiko terjadinya aneurisma.
“Di Indonesia sendiri, 99% pasien datang ke dokter dengan kondisi aneurisma pecah, sehingga deteksi dini adalah kuncinya,” tutupnya.