Lifestyle

Kesalnya Obin Si Tukang Kain dengan Orang Indonesia yang Salah Kaprah Sebut Kebaya Sebagai Etnik

thedesignweb.co.id, Jakarta – Di hadapan orang banyak yang sebagian besar adalah pelanggannya, Josephine Werratie Komara yang akrab disapa Obin terang-terangan mengkritik masyarakat Indonesia yang menyebut produk tradisional Indonesia. Menurutnya kata balapan itu menyesatkan.

Saat perayaan HUT ke-17 Alun-Alun Indonesia di Jakarta, Selasa, ia mengatakan, “Banyak masyarakat yang memandang produk Indonesia, terutama produk tradisional, sebagai produk etnik. Ini salah, bukan etnik, tapi budaya. tradisi.” 29 Oktober 2024.

Tak hanya mendengar cerita dari orang lain, ia sempat disebut-sebut berlomba-lomba saat mengenakan kebaya. “Mbok Bin benar-benar suku, meski saya tidak merasa senang atau bangga disebut suku,” ujarnya. “Saya memakai roti, saya memakai kebaya dan saya merasa tradisional.” 

Menurut Obin, istilah amoko lebih tepat untuk budaya Papua yang memakai koteka, manik-manik, dan bulu. “Itu etnis, dekat etnis,” katanya.

Dijelaskannya, kebiasaan masyarakat Indonesia membicarakan budayanya secara berlomba dimulai pada tahun 1980-an, ketika surat kabar asing masuk ke Indonesia. Kebijakan redaksional saat itu hanya memberi 20% ruang pada teks lokal, selebihnya disesuaikan dengan dialog penulis asing.

Pada saat yang sama, surat kabar menunjukkan banyak bias rasial. Menurut Obin, orang Barat memandang ras sebagai sesuatu yang serupa.

Obin menjelaskan: “Yang budaya itu namanya majalah fashion etnik dan barat. Yang dianggap kuno itu misalnya gaun pesta, tuksedo. Jadi ketika masuk ke Indonesia, semua tradisi Indonesia dianggap sebagai sebuah perlombaan.” Sayangnya, masyarakat di Indonesia tidak mau mengikuti perkataan tersebut.

 

Belajar dari pengalamannya, ia pun mendorong masyarakat Indonesia untuk kembali ke akar tradisionalnya. Jangan hanya melakukan sesuatu yang tradisional.

“Kalau saya berbagi dengan orang lain, saya bilang ‘ayo makan’, ini tradisional. Tidak bisa dibuang, sudah dibuang seperti keripik. Cara saya melakukannya tradisional, tapi menurut saya, ini modern. . ” kata Obin. “Bentuknya boleh baru, kegunaannya harus sama,” imbuhnya. 

Salah satu ide modern Obin yang tercermin pada tekstil tradisional adalah membuat batik di atas kain tenun. Ia memulainya pada tahun 1989. “Di situlah pakaian pertama kali ditenun di Indonesia,” ujarnya.

Sebelum ada batik sutra, kain batik zaman dulu menggunakan bahan katun. Ini mengubah cara orang memakai pakaian. Menurut Obin, masyarakat yang memakai baju bekas tidak akan menyelipkan bajunya saat memakainya, melainkan membungkusnya dengan beberapa ujung kain.

Dan jika gaunnya banyak, bahkan benangnya, disarankan untuk memakainya dengan baik untuk menunjukkan keindahannya. “Jadi jangan pernah melihatnya,” katanya.

Obin tak segan-segan membahas perkembangan permasalahan sosial politik, khususnya mengenai industri fashion di Indonesia. Menurutnya, hingga saat ini industri fesyen belum mengalami tekanan dan ia berharap hal tersebut terjadi pada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

“Karena fashion itu berarti memakai. Selama pemerintah terus berbusana, kita tidak akan ada masalah.. Sebagai industri, itu seperti kebahagiaan. Masa depan cerah,” ujarnya.

Obin juga meyakini industri Indonesia lebih efisien dibandingkan negara lain. “Kamu bandingkan dengan Thailand. Kamu bandingkan dengan Filipina. Kamu bandingkan dengan Singapura atau Brunei, kamu lihat sekeliling. Lihat semua orang memakai baju saya, baju Indonesia, atau 80 persen baju saya. Itu street fashion Apa lagi hilang?

Namun ada satu pesan yang disampaikan kepada para pemimpin baru Indonesia untuk mengembangkan industri dalam negeri dan tidak selalu menjadikan ekspor sebagai jalur utama. Pasar utama industri fashion Indonesia seharusnya adalah Indonesia sendiri. Oleh karena itu, tidak perlu khawatir dengan tren fashion di luar negeri.

“Ini tidak berarti bahwa mereka tidak memiliki pelanggan internasional. Mereka ingin, mereka datang. Mereka ingin, mereka mengirim email, kan? Saat ini, Anda tidak perlu melakukannya. Orang dapat ditemukan di mana saja.” .

Meski optimis, industri fesyen Indonesia menghadapi tantangan, khususnya di sektor batik. Jumlah perajin batik mengalami penurunan yang signifikan.

Melansir Antara, berdasarkan data Asosiasi Pengrajin Batik Indonesia (APPBI) pada tahun 2020, diperkirakan terdapat 151.565 seniman batik di Indonesia. Namun jumlah tersebut, menurut Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat, berkurang hingga kurang dari sepertiganya, yakni 37.914 orang.

Namun bisnis batik tidak tinggal diam, bermunculan merek-merek baru yang menghadirkan batik modern. Salah satunya adalah Oemah Etnik (OE) yang didirikan oleh Rizki Triana. “Sebenarnya kerajinan kita tahun ini meningkat.”

Diakui Kiki, sejak memulai usahanya pada tahun 2013, pihaknya telah berupaya melestarikan batik agar terus berkembang dan memenuhi kebutuhan generasi muda. Saat memulai usahanya, ia menemukan banyak anak muda yang menolak untuk mewariskan keterampilan membatiknya kepada orang tuanya karena merasa profesi tersebut tidak bagus.

Ia pun mencari cara agar karya ini lebih digemari anak muda dengan menciptakan produk yang relevan dengan pasar mereka, khususnya anak muda. Harga didesain terjangkau, meski bukan berarti murahan. “Murah memang tidak murahan ya, tapi dibandingkan kompetitor, kita bisa lebih murah untuk anak muda.”

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *