Kisah Inspiratif Papa Udon, CEO Marugame yang Tidak Pernah Mengeluh Selama Melawan Kanker Kandung Kemih
thedesignweb.co.id, Jakarta – Saat pemakaman emosional Hajim Kondoh alias Papa Udon, CEO Perusahaan Marugame Udon di Indonesia, istri tercinta Fanny Kondo memberikan pesan bermakna tentang jalan hidup suaminya dan perjuangannya melawan kanker.
Papa Udan, yang masuk Islam dan menginspirasi banyak orang, meninggal setelah 5 tahun berjuang melawan kanker kandung kemih.
Fanny mengingat momen-momen penting yang mereka habiskan bersama dengan kata-katanya sendiri. Terutama bagaimana ia mengatasi penyakit suaminya tanpa mengeluh meski kondisi suaminya semakin memburuk setiap tahunnya.
“Saya ucapkan terima kasih kepada semuanya yang ada di sini, terutama Pak Alvin dan Marugem. Seandainya Pak Alvin tidak mengenalkan saya pada Kondosan (panggilan akrab Hajim Kondoh), mungkin saya tidak akan bertemu dengan jodoh saya,” kata Fanny Inn. Menahan air mata di awal pidatonya.
Fanny mengenang perjuangan panjang suaminya melawan kanker. Menurut Fanny, Papa Udan adalah pria yang luar biasa kuat. Meski menghadapi penderitaan yang tak terbayangkan, Papa Udan tidak pernah mengeluh atau menunjukkan kelemahan di depan keluarganya.
Bahkan Fanny pun heran dengan kegigihan suaminya. “Dia berumur 5 tahun dan tidak pernah mengeluh sakit. ‘Kenapa aku bisa terkena kanker?’ Dan ‘kenapa cobaan ini menimpaku,’ tidak pernah,” kata Fanny menirukan ketenangan dan ketabahan suaminya selama sakit.
“Tentu saja keluhan selalu keluar dari mulut saya. Kenapa yang menderita kanker dan bukan orang lain? Anda tidak minum alkohol, tidak merokok, Anda makan makanan sehat,” imbuhnya.
Fani bercerita, Papa Udan selalu menyikapi kekhawatirannya dengan kata-kata yang tenang. “Kondosan cuma bilang, ‘Ini ujianku. Tuhan memberiku ujian. “Aku baik-baik saja,” kata Fanny Kondoh.
Setiap kali Fanny khawatir, Papa Udan meyakinkannya: “Apakah aman, sayang? Aman.” Kata-kata inilah yang menjadi pedoman Fanny selama lima tahun mereka menghadapi cobaan luar biasa tersebut.
“Dia tidak pernah menjadi suami yang lemah di hadapanku, meski tubuhnya tidak sekuat dulu,” kata Fanny dengan mata basah oleh air mata.
Meski Papa Udan masuk Islam, Fani yang merupakan keturunan Muslim mengungkapkan, dirinya belajar banyak dari suaminya tentang kebaikan dan memperlakukan orang dengan baik. Papa Udan selalu berusaha tegar dan tegar demi keluarganya, meski sedang berjuang melawan penyakit.
“Setiap tahun, Kondosan semakin menurun,” kenang Fani. “Tapi dia selalu berusaha mengendalikan segalanya. Meski dia berlari liar dan tubuhnya setengah lumpuh, dia tidak pernah menyerah.”
Kehadiran Papa Uda yang penuh cinta dan pengabdian sangat membekas di hati Fanny. Meski suaminya kini telah tiada, Fanny yakin Hajime akan selalu memandangnya dari tempat yang lebih tenang.
Ucapan Fanny menjadi viral di berbagai platform media sosial, khususnya Tik Tok, dan banyak pengguna yang terharu dengan kisah cintanya.
Perjuangan dan ketekunan Hajime Kondoh, serta cinta sejati yang mereka bagikan, telah menjadi inspirasi bagi banyak orang yang menghadapi cobaan hidup.
Fanny Kondoh membagikan kisah yang sangat menyentuh dan bermakna di TikTok beberapa bulan sebelum suaminya pergi. Tepat empat bulan sebelum Papa Udan meninggal karena kanker pada Rabu, 16 Oktober 2024, Fanny mengunggah video yang mengungkap keputusan tak biasa mereka: membeli makam suami istri itu dengan uang tunai, bahkan tanpa memiliki rumah.
“Orang gila mana yang masih mengontrak rumah, lebih memilih bayar tunai daripada membeli makam pernikahan? Iya, orang gila itu adalah saya,” tulisnya dalam video yang diunggah pada 6 Juni 2024.
Keputusan ini tidak hanya mengejutkan banyak orang, tetapi juga mengungkapkan pandangan hidup yang sangat mendalam. Fanny menjelaskan, harga rumah terlalu mahal dan keduanya berusaha menghindari pembayaran bunga.
“Rumahnya ada yang miliaran dan saya sangat menghindari pinjaman berbunga. Jadi saya belum berani. Kuburannya masih ada dan bisa dibayar tunai,” ujarnya.
Membeli kuburan untuk Fanny dan Papa Udan merupakan langkah bijak, karena pada akhirnya semua orang akan menghadapi kematian. Daripada harus berhutang untuk membeli rumah di dunia, mereka merasa lebih nyaman mempersiapkan “rumah terakhir” mereka yaitu Samadhi.
“Bagus, yang penting bayar sewa dulu, belum bayar bunga. Rumah terakhir kita adalah kuburan kita,” jelasnya yakin.
Keputusan ini bukan hanya soal membeli kuburan. Fanny juga berbagi momen manis saat mereka mendiskusikan detail kecil dan intim tentang apa yang akan terjadi di alam kubur. Ketika mereka datang untuk melihat perkembangan pembangunan makam, Fani bertanya kepada Papa Udan: “Kalau begitu anakku, kamu mau di sebelah kanan atau di kiri, di sebelah kanan?” Lalu Papa Udan menjawab: “Ayo tidur. Anda di kanan, saya di kiri,” katanya.
Meski terdengar ekstrim dan agak ironis, Fanny menegaskan bahwa memikirkan kematian dan akhirat adalah hal yang penting dalam hidup. Ia berkata dengan suara penuh pengertian, “Hidup ini singkat, kita tidak bisa bertahan lama di dunia ini.”
Fanny pun menjelaskan bagaimana makam pasangan itu memberinya kenyamanan. “Saya selalu merasa tenang sejak mengalami samadhi suami-istri dengan Papa Udan jauh di lubuk hati saya karena saya selalu mengingat kematian,” ujarnya.
Kenangan akan kematian inilah yang memotivasi Fanny untuk menjadi pribadi yang lebih baik setiap harinya. Ia rajin bersedekah, berdoa, dan beribadah, serta berusaha menjadi istri yang setia. “Jadi, amal apa pun yang bermanfaat dan bisa menemani saya di dunia kubur dan akhirat pasti saya laksanakan,” imbuhnya.