Kisah Subardi, Muslim yang jadi Koster Pelayan Gereja Selama 30 Tahun
, Berlin – Keberagaman dan toleransi itu indah, seperti yang terlihat dalam kisah Subardi, seorang Muslim yang bekerja sebagai jemaat di sebuah gereja di Jakarta Selatan.
Dalam ceritanya yang dikutip dari DW Indonesia, Jumat 27/12/2024), Subardi menceritakan aktivitasnya yang dimulai setelah ia melaksanakan salat subuh. Sebagai anggota, Bardi harus datang lebih awal untuk mempersiapkan segala kebutuhan ibadah di Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) Kharisma, Jakarta Selatan.
“Salah satu tanggung jawab pihak penginapan adalah menyiapkan apa yang dicuri. Ini penting karena dewan selalu tutup dan warnanya berbeda-beda sesuai tanggal. Kalau untuk jamuan makan, saya menyiapkan bola dan alkohol. kayu dan alkohol sebanyak yang diperlukan,” kata Bardi yang sering ditelepon saat bertemu DW Indonesia pertengahan Desember lalu.
Selain itu, Bardi juga menyiapkan lembaran renungan bagi jemaah kerja serta jemaah kotak sedekah. Ia juga menjaga kebersihan seluruh bagian gereja. Hal itu telah ia lakukan selama lebih dari 30 tahun dalam pengabdian kepada jemaah GPIB Kharisma.
Pekerjaan pertamanya sebagai anggota dewan dimulai saat ia menjadi kuli bangunan yang membantu pembangunan gedung serba guna GPIB Kharisma. Saat itu, ia diperkenalkan oleh pengurus gereja saat itu untuk menjadi anggota GPIB Kharisma.
“Saya belum bisa menjawabnya pak, saya muslim, saya harus tanya dulu pada keluarga saya,” jawab Bardi saat ditawari pekerjaan menjadi jemaat gereja.
Butuh waktu tiga hari baginya untuk menerima pekerjaan itu. Keputusan ini tak lepas dari reaksi positif keluarga yang menghidupi Bardi dan bekerja di shelter.
“Pihak keluarga mengiyakan kalau mau kerja di sini, pesannya: Tapi harus bisa cerai. Kamu muslim. Jangan lupa ibadah walaupun bekerja di tempat ibadah (agama lain) ujarnya.
Setelah memastikan segala kebutuhan ibadah sudah siap, Bardi menuju pintu gereja menyambut kedatangan jemaah gereja.
Tak lupa ia tersenyum saat menyapa jamaah yang sebagian besar sudah ia kenal. Komunikasi yang cepat, kata Bardi, memperkuat rasa kekeluargaan di gereja.
“Ada jamaah di gereja ini yang berkata: Pak Bardi, sebelum saya ke surga, Pak Bardi masuk surga dulu, karena Pak Bardi melayani semua kebutuhan di sini,” kata Bardi dan menceritakan salah satu momennya dengan lilin. di sana. kongregasi.
Hubungan baik antara Bardi dan jemaah gereja juga terjalin saat musim Idul Fitri dan Natal.
“Kalau saya mau lebaran, ada yang memberi. Ada saron, kadang sembako, baju, kaleng kue. ,” kata Bardi.
Pada awalnya, gereja cenderung berpartisipasi dalam organisasinya sebagai pusat.
“Mengingat perkembangan situasi, zaman dan keadaan saat ini, kami terbuka untuk juga menawarkan kesempatan (kepada non-Kristen),” kata Ketua Majelis Jemaat GPIB Kharisma, Pdt. Betty Kaiola.
Ia mengatakan perbedaan agama tidak mengganggu kiprah Bardi sebagai anggota GPIB Kharisma.
Setiap karyawan mempunyai hari libur yang sama setiap hari Senin. “Tetapi secara khusus kami memberi Pak Bardi hari libur setiap hari Jumat, dan atas permintaannya beliau juga bisa berdoa dan menjalankan tugas keagamaannya,” Pdt. Betty.
Kepada DW Indonesia, Pdt. Betty mengungkapkan, memberikan kesempatan kepada Bardi untuk bekerja sebagai pembatas merupakan salah satu cara untuk membangun toleransi. Hubungan dan kerja sama yang baik dapat dibangun meski berbeda latar belakang.
“Menjadi berbeda bukan berarti kita tidak bisa akur dengan Betty.
Bardi, sebaliknya, bukan sekadar pekerjaan bergaji. Menjadi ibu rumah tangga juga berarti melayani umat beragama lainnya.
“Pelayanan itu tidak hanya di masjid saja, di rumah, di gereja kita juga menyebutnya pelayanan. Kita melayani sesama, itu bagus. Kalaupun saya muslim, saya bisa melayani non-Muslim. Saya merasa puas, saya melihat.” ujar Subardi.