[Kolom Pakar] Dr Ray Wagiu Basrowi: Dualitas Jiwa Raga untuk Keadilan Sosial ODHIV di Indonesia
thedesignweb.co.id, Jakarta – Sejatinya, tema peringatan Hari AIDS Sedunia tahun ini adalah “Equal Rights for All, Together We Can” bukan hanya soal akses universal terhadap layanan kesehatan. Maknanya juga menyentuh inti permasalahan kemanusiaan, yakni kesetaraan martabat dan hak hidup sehat, baik jasmani maupun rohani.
Tema kesetaraan ini secara langsung menjawab keadilan distributif di tingkat komunitas. Sebagaimana dikemukakan oleh filsuf John Rawls, keadilan sosial harus menjamin distribusi sumber daya, termasuk layanan kesehatan, dengan memperhatikan kebutuhan individu yang paling rentan.
Orang yang mengidap human immunodeficiency virus (HIV) atau pengidap HIV jelas masih merupakan kelompok rentan dan marginal di Indonesia. Karena terbatasnya akses terhadap layanan kesehatan, mereka rentan terhadap stigma, diskriminasi, dan tentu saja marginalisasi.
Kesetaraan dalam hal ini berarti memberikan hak yang sama kepada teman ODHA seperti seluruh masyarakat Indonesia, tidak hanya untuk mendapatkan pengobatan antiretroviral (ARV), namun juga dukungan psikososial dan perlindungan dari stigma. Ini bukan hanya masalah kesehatan, tapi juga masalah hak asasi manusia yang mendalam.
Namun, kisah stigma sosial terhadap ODHA masih menjadi dimensi yang terlupakan, meski seringkali berdampak serius pada kesehatan mental mereka. Dapatkah kita secara kolektif mempertimbangkan berapa banyak teman pengidap HIV di Indonesia yang dapat mengungkapkan status positif HIV mereka kepada publik dengan kepala tegak? Sedikit, kan?
Sebab, begitu kuatnya paradoks moralitas dan kebodohan di negeri ini. Masyarakat Indonesia masih mengaitkan HIV/AIDS dengan perilaku ‘menyimpang’ seperti penggunaan narkoba, hubungan seks tidak wajar, atau perselingkuhan.
Ironisnya, meski masyarakat kita sangat religius dan beradab, masih banyak orang yang cepat menilai pengidap HIV tanpa memahami rumitnya penularan penyakit ini. Menurut Kementerian Kesehatan, akan ada 543.100 orang yang hidup dengan HIV di Indonesia pada Juni 2024. Namun stigma membuat banyak dari mereka enggan mencari pengobatan atau dukungan sosial.
Studi Universitas Airlangga pada tahun 2019 menunjukkan bahwa rendahnya tingkat keterbukaan ODHA terhadap statusnya disebabkan oleh potensi stigma dan risiko diskriminasi dari keluarga dan lingkungan terdekatnya. Faktanya, penelitian ini menunjukkan bahwa risiko diskriminasi bisa mencapai 68 persen!
UNAIDS (2023) mencatat lebih dari 50 persen pengidap HIV mengalami depresi dan kecemasan. Penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab utamanya adalah ketakutan akan stigma, diskriminasi, keterasingan dan keputusasaan atas ancaman eksistensial di komunitas mereka.
Stigma sosial semakin kronis karena pilihan yang tidak pernah mudah. Saat dibuka, konsekuensi keterasingan tidak bisa dihindari. Sebaliknya, jika Anda tetap memilih tertutup, risiko tekanan emosional akan meningkat secara signifikan.
Sebuah studi longitudinal yang didanai oleh USAID dan berbasis di Pusat Kesehatan Masyarakat (2021) menunjukkan bahwa sekitar 40-50 persen pasien yang tidak mengungkapkan status HIV mereka didiagnosis menderita depresi sedang hingga berat, yang jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat prevalensi depresi. umumnya. populasi!
Pengidap HIV yang juga memiliki gangguan kesehatan jiwa menghadapi dua kendala yaitu virus yang siap menyerang kekebalan tubuhnya kapan saja dan stigma yang merusak kesehatan mentalnya. Depresi dan kecemasan akibat kurangnya keterbukaan berdampak negatif terhadap keberhasilan terapi.
Mekanisme psikologisnya sangat jelas. Individu yang khawatir akan reaksi negatif dari orang lain ketika penyakitnya terungkap akan memicu isolasi sosial, perasaan kesepian dan tekanan emosional yang berkelanjutan. Stres emosional ini diwujudkan dalam gejala fisik seperti sakit kepala atau kelelahan, bahkan gejala psikosomatis.
Pada tahap ini saja, skala masalah kesehatan mental pengidap HIV meningkat berkali-kali lipat, yang semakin memperburuk kondisi mereka. Sebuah penelitian dalam Journal of Affective Disorders (2018) menunjukkan bahwa isolasi sosial melipatgandakan risiko depresi pada pasien dengan penyakit kronis, termasuk mereka yang memiliki HIV terkontrol.
Stigma pengidap HIV juga berdampak pada layanan kesehatan. Penelitian di Bangka Belitung menemukan bahwa stigma terkait status HIV sangat erat kaitannya dengan terhambatnya akses terhadap layanan kesehatan bahkan meningkatkan risiko kegagalan terapi ARV hingga 4 kali lipat.
Diskriminasi semakin terlihat di dunia kerja. Penelitian program studi kedokteran okupasi FKUI menunjukkan bahwa 40 persen pengidap HIV terpapar risiko diskriminasi di tempat kerja, mulai dari kehilangan pekerjaan hingga pengucilan sosial.
Stigma dan diskriminasi juga sering terjadi di lingkungan keluarga dan masyarakat. Orang yang mengidap HIV seringkali dikucilkan, bahkan oleh orang-orang terdekatnya, sehingga membuat mereka kehilangan dukungan sosial yang sebenarnya mereka butuhkan. Situasi ini sangat nyata dan mengkhawatirkan.
Sedih sekali melihat pemberitaan banyaknya ODHA di Probolingg yang terpaksa tinggal bersama di shelter atau inisiatif mulia Welhelminus Eduardus yang memberikan shelter kepada ODHA yang terusir dari desanya. Faktanya, artikel di situs berita Hari AIDS beberapa tahun yang lalu berbicara tentang rumah aman bagi anak-anak HIV di Sukabumi, Medan dan Ternate, yang kondisinya jauh dari memadai.
Dalam konteks nasional, hal ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip peraturan perundang-undangan yang bersifat distributif, yang seharusnya memberikan perhatian yang lebih besar kepada pihak-pihak yang paling membutuhkan. Bangsa ini secara emosional membiarkan orang-orang yang terstigmatisasi disakiti tanpa menawarkan bantuan untuk bangkit.
Dari perspektif pengobatan komunitas, pentingnya pendekatan komunitas untuk mengatasi stigma dan dampaknya terhadap kesehatan mental orang yang hidup dengan HIV sudah jelas.
Kedokteran komunitas didasarkan pada dua prinsip utama, yaitu kesetaraan dan pemberdayaan.
Triple Elimination bertujuan untuk menghilangkan penularan HIV, sifilis dan hepatitis B untuk membebaskan generasi dari penyakit menular. Sementara itu, Three Zeros adalah kerangka kerja UNAIDS untuk memberantas HIV/AIDS di seluruh dunia, dengan fokus pada “zero infeksi baru”, “zero kematian terkait AIDS” dan “zero diskriminasi”.
Namun banyak penelitian yang pesimistis memperkirakan bahwa Indonesia akan kesulitan mencapai tujuan global tersebut. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI (2022), Indonesia mencatat 27.233 kasus HIV baru pada tahun 2021, dengan kelompok rentan yang paling banyak mendapat stigma seperti pekerja seks, pengguna narkoba suntik, dan kelompok LGBT+.
Stigma ini membuat mereka merasa malu untuk melakukan tes, enggan mengungkapkan kapan mereka menggunakan obat anti-rematik, dan kurangnya dukungan psikososial, yang pada gilirannya berisiko menggagalkan upaya untuk mencapai ‘zero kasus baru’ dan ‘zero kematian terkait AIDS’, karena masih adanya diskriminasi. ada.
Promosi kesehatan dan pendidikan dasar HIV/AIDS merupakan langkah penting yang harus didorong. Meskipun diperlukan waktu lama untuk mengubah pandangan masyarakat mengenai HIV sebagai “penyakit moral”, kita harus menekankan bahwa HIV adalah kondisi medis yang kompleks dan dapat ditangani.
Media massa dan media sosial harus menjadi sumber informasi yang akurat. Namun, harus ada peraturan untuk memastikan bahwa media tidak memperkuat stigma melalui pemberitaan sensasional yang kurang mendidik. Banyak influencer media sosial lebih memilih untuk mencari popularitas dengan menggambarkan orang yang hidup dengan HIV sebagai angka yang harus dihindari daripada memberikan pencerahan.
Penguatan kebijakan anti diskriminasi sangat penting, salah satunya adalah memastikan implementasi UU No. 39 Tahun 1999 khusus terkait hak asasi manusia untuk melindungi ODHA dari perlakuan diskriminatif di berbagai sektor kehidupan.
Peraturan yang ketat, meski tampak radikal, telah terbukti efektif dalam mengubah persepsi masyarakat, seperti halnya dalam memerangi penindasan. Penuntutan terhadap tindakan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA dapat memberikan dampak positif.
Pada akhirnya, semangat kesetaraan tanpa stigma bagi ODHA bukan sekadar keberpihakan pada isu kesehatan tertentu, namun menjaga martabat kemanusiaan yang tidak bisa dianggap remeh.
Paradigma dualitas jiwa dan raga yang sehat merupakan hak universal setiap individu. Hari AIDS Sedunia merupakan kesempatan untuk menekankan bahwa perjuangan melawan HIV/AIDS di Indonesia harus mengarah pada keadilan sosial, kesetaraan, dan tidak meninggalkan siapa pun.
Penulis: Dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH (@ray.w.basrowi)
Peneliti sekaligus pendiri Health Collaborative Center (HCC), penggagas Kaukus Komunitas Peduli Kesehatan Jiwa (Keswa Caucus), wakil ketua Kemitraan Indonesia Sehat.