DESIGN WEB Melihat Tren Strategi Investasi Saham di Indonesia
thedesignweb.co.id, Jakarta – Pendapat pekan ini adalah kemungkinan bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (Fed) akan menurunkan suku bunganya.
Pelonggaran kebijakan The Fed diperkirakan akan mendongkrak aliran dana investasi asing ke Indonesia. Dalam hal ini, investasi saham dan obligasi di Indonesia masih menarik. Dikutip dari penelitian PT Ashmore Asset Management Indonesia.
“Kami terus melihat aliran masuk modal dari investor asing, meski dalam waktu dekat lebih lambat,” ujarnya, Selasa (17/9/2024).
Sementara dari sisi kebijakan moneter, kami melihat situasi di Indonesia, khususnya tren beberapa tahun terakhir. Ashmore mengatakan, dalam beberapa pekan terakhir, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencapai titik tertinggi sepanjang masa. Namun, bukan berarti semua saham akan mengikuti pola yang sama.
“Saat memilih investasi, kita perlu mengetahui saham-saham yang berkontribusi terhadap tren ini dan belajar dari peristiwa masa lalu.”
Melihat pentingnya dan pertumbuhan investasi di Indonesia selama 10 tahun terakhir, jelas bahwa strategi pertumbuhan lebih unggul dibandingkan strategi nilai. Melihat MSCI Indonesia, nilai dan pertumbuhan sebagai indikator dari masing-masing strategi, selama 10 tahun terakhir, strategi Nilai telah memberikan keuntungan secara keseluruhan sebesar 10,51% (1 persen per tahun) dibandingkan dengan Pertumbuhan yang menghasilkan keuntungan secara keseluruhan. 33.11. persen (2,9 persen per tahun).
“Karena perbedaan ini, sistem nilai masih sangat tidak teratur, dan investor lebih memilih pertumbuhan produk.”
Mengutip Ashmore, tergantung pada definisi produk pertumbuhan, produk tersebut cenderung memiliki nilai yang sangat mahal, namun ada fenomena baru dimana banyak produk pertumbuhan yang dijual menunjukkan kinerja baik dengan harga yang sangat tinggi.
Ashmore mengatakan, dalam 10 tahun terakhir sejak Agustus 2014 hingga Agustus 2024, di antara 30 produk teratas yang berkontribusi terhadap pertumbuhan IHSG, terdapat 21 produk yang memiliki rasio P/E lebih tinggi dibandingkan P/E saat ini sebesar 14,67x. . Hingga 590x.
“Ini bisa sangat berisiko dan tidak ada alasan untuk berinvestasi pada saham dengan valuasi ekstrem, terutama dalam kondisi saat ini.”
Sejak pandemi COVID-19, pasar saham mengalami peningkatan jumlah investor ritel dan didominasi oleh perdagangan. Di sisi lain, investor institusional berinvestasi pada obligasi, bukan saham, dan tidak memperoleh keuntungan yang signifikan.
“Banyak investor ritel tidak begitu peduli terhadap nilai saham dan malah mencari saham yang sedang berkembang, yang memperlebar kesenjangan penilaian dan meningkatkan ketidakpastian.”
Ketika siklus pasar membaik, investor akan mencari produk berkualitas dengan fundamental yang kuat, seperti value stocks. “Perlu diingat bahwa beberapa tahun lalu kita melihat saham-saham tumbuh luar biasa, dimana harga sahamnya naik saat itu.”
Namun jika melihat saham-saham tersebut di tahun 2024, banyak yang anjlok hingga 90 persen dari level tertingginya, bahkan ada pula yang dihentikan dan dihapusbukukan. “Itulah sebabnya kami tetap percaya pada keuntungan jangka panjang dan risiko terkendali, bukan keuntungan jangka pendek dengan tingkat risiko tinggi dan modal tinggi.”
Di masa lalu, tiga strategi investasi saham yang dikenal sebagai strategi nilai, pertumbuhan, dan leverage memiliki pro dan kontra. Namun, strategi investasi ini biasanya bergantung pada tujuan dan tingkat risiko masing-masing investasi.
Mengutip riset PT Ashmore Asset Management Indonesia, strategi investasi nilai sering kali melibatkan pencarian saham dengan valuasi rendah. Artinya, saham tersebut dijual dengan harga rendah dan terdapat opsi beli karena pasar yakin harga saham tersebut akan terapresiasi seiring dengan tren pasar.
Investor terkenal yang menggunakan strategi ini adalah miliarder Warren Buffett. Secara historis, strategi ini telah memberikan hasil investasi jangka panjang yang menarik. Strategi investasi ini memiliki keuntungan jangka panjang yang tinggi, namun mungkin tidak berjalan baik selama periode pertumbuhan ekonomi yang pesat dan investor mungkin memilih saham yang berisiko dan memiliki pertumbuhan tinggi.
Sementara itu, strategi investasi pertumbuhan mencari perusahaan dengan potensi pertumbuhan tinggi. Perusahaan-perusahaan ini sering berinvestasi pada dividen daripada membayar dividen.
“Valuasinya cenderung sangat mahal karena investor selalu optimis terhadap perusahaan-perusahaan tersebut, artinya investor akan membeli saham meski secara historis harganya mahal dengan harapan pertumbuhan pesat itu akan terus berlanjut di masa depan,” ujarnya.
Contoh investor yang menggunakan strategi ini adalah Cathie Wood, pendiri dan CEO ARK Invest, yang berinvestasi pada perusahaan yang berinovasi dan berkembang pesat.
Strategi investasi ini bekerja dengan baik di pasar negara berkembang, namun cenderung berubah selama resesi dan likuiditas rendah.
Terakhir, strategi investasi saat ini bersifat terdiversifikasi, artinya valuasi dan analisis fundamental kurang penting dan investor dengan pendekatan ini lebih mengandalkan analisis teknis.
Hal ini mengasumsikan bahwa harga saham mengikuti tren yang dapat menguntungkan investor. Jenis investasi ini biasanya menghasilkan banyak bisnis. Investor lain yang menggunakan strategi ini adalah Richard Driehaus, yang sering disebut sebagai bapak investasi momentum.
“Strategi investasi ini bisa sangat menguntungkan dalam jangka pendek, namun paling berisiko dibandingkan strategi lainnya,” ujarnya.
Meskipun pasar saham yang meningkat bisa menghasilkan keuntungan besar, hal sebaliknya juga bisa terjadi. Selama bertahun-tahun, ketiga strategi investasi ini menghasilkan keuntungan yang berbeda dalam siklus yang berbeda.
Ashmore memberikan contoh pasar saham Amerika Serikat selama 10 tahun terakhir untuk melihat perbedaan strategi keuangan ini. Pada periode 2014-2019, tren pertumbuhan moderat yang didorong oleh suku bunga rendah dan tren digitalisasi global menjadikan saham FAANG mendorong sebagian besar keuntungan dan melampaui tren investasi energi.
Pada tahun 2019-2021, stimulus fiskal dan moneter yang besar akibat pandemi COVID-19 serta kondisi suku bunga yang sangat rendah menyebabkan kenaikan yang kuat pada saham dan strategi pertumbuhan investasi yang berkinerja lebih baik.
Sedangkan pada tahun 2022, pasar saham akan mengalami koreksi seiring dengan kenaikan suku bunga yang pesat dan ketegangan lingkungan yang menurunkan sentimen risiko di pasar. “Pada saat itu, ini adalah strategi investasi yang lebih baik,” katanya.
Sejak koreksi tahun 2022, pasar saham telah meningkat secara signifikan karena hebohnya teknologi kecerdasan buatan. Dalam hal ini, ini adalah strategi investasi yang lebih baik.
Ke depan, Ashmore melihat pasar mengharapkan penurunan suku bunga dan situasi yang mudah karena investor mencari kualitas dan nilai ketika ekonomi AS melambat.