Mengulik Sejarah dan Peran Sunan Kudus, Penetapan Hari Jadi Kudus Siap Direvisi agar Tak Picu Perdebatan
thedesignweb.co.id, Kudus – Kudus merupakan salah satu kabupaten terkecil di Jawa Tengah. Qudus erat kaitannya dengan tokoh Sunan Qudus yang bernama asli Jafar Shodiq.
Namun definisi Hari Raya Suci yang jatuh pada tanggal 23 September berdasarkan Keputusan Daerah ke-11 tahun 1990 masih menjadi perdebatan. Hari Jadi Kota Kudus 23 September 1549. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah (PERDA) no. 11 tahun 1990.
Tanggal dan bulan berdirinya Kudus yang disebut juga Kretek terjadi pada masa pemerintahan Bupati Kolonel Soedarsono.
Setiap tahun Peringatan Suci dirayakan dengan berbagai acara. Seperti parade budaya, syukuran, doa bersama dan tahlil di Menara Qudus.
Rangkaian tradisi ini mencerminkan rasa hormat masyarakat setempat terhadap sejarah dan nilai-nilai Islam yang mengakar kuat di Kudus.
Namun, sejumlah pihak menilai perayaan HUT ke-34 tersebut kurang memiliki dasar ilmiah yang kuat.
Keraguan terhadap ketaatan terhadap Perjamuan Suci muncul dalam diskusi budaya bertajuk “Selamat Datang Tahun Suci 500 956-1456 Hijriah, Jejak Amalan Syekh Ja’far Sadiq dalam Membangun Peradaban Suci Kemakmuran, Kerukunan dan Ketaatan.”
Tujuan dari diskusi ini adalah untuk mengetahui makna dan sejarah Waisak. Selain itu dibahas pula peran penting Sunan Kudus dalam membangun peradaban.
Kajian mendalam terhadap sosok dan sejarah Sunan Kudus masih minim, kata Maesa Agni, pendiri Yayasan Al-Manar, saat meluncurkan diskusi budaya di Rumah Muntira Kudus, Senin (23 Desember 2024).
Menurut Maesa, jika penanggalan yang tertulis dalam teks keuskupan mengalami distorsi, maka seharusnya Hari Raya Suci jatuh pada 2 Oktober.
“Dari pembacaan prasasti ini, sebenarnya Qudus didirikan pada 19 Rajab 956 H atau 23 Agustus 1549 menurut penanggalan Masehi,” kata Maesa, penggagas dialog budaya tersebut. Berdiri pada tanggal 19 Rajab 956 Hijriah atau tanggal 23 Agustus 1549 menurut penanggalan Masehi. kalender”.
Berbekal ukiran prasasti di Masjid Sunan Qudus, penting bagi Pemprov Kudus untuk mengambil tindakan serius untuk meninjau kembali Komitmen Kota Kudus.
Diakui Maesa, revisi Peraturan Daerah ke-11 Tahun 1990 tentang Hari Raya Suci sudah lama dibicarakan. Pasalnya, definisi hari Sabat dinilai kabur dan tidak memiliki landasan ilmiah yang jelas.
Oleh karena itu, Mesa berharap kisah peringatan sakral ini harus diceritakan berdasarkan sejarah dan ilmiah yang jelas.
Mokh termasuk dalam agenda pembicaraan. Asli Akmal dikenal sebagai pemerhati sejarah dan budaya sakral. Hadir pula Ketua Ketoprak Kabupaten Pati Lek Mughal dan komentator kebudayaan Yogyakarta Irfan Afifi.
Diskusi malam itu juga dihadiri para Pemilih Bupati dan Wakil Bupati Kudus Samani Intakoris dan Bellinda Birton. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kudus Mutrikah, Ketua Komisi B DPNR Kudus, Sekretaris Komisi A DPNR Kudus Mukhtamat serta para seniman, tokoh budaya senior dan ilmuwan Kudus.
Sementara itu, pakar budaya Jawa dan pengamat budaya Jawa Irfan Afifi menambahkan, Sunan Kudus bukan sekedar ulama yang menyebarkan Islam di Kudus. Penuturan Irfan didasarkan pada sejumlah naskah.
Sunan Qudus dalam Hikayat Hasanudin Banten menyebutkan Irfan disebutkan sebagai Imam kelima Candi Demak. Sunan Kudus merupakan anak dari Imam keempat Candi Sunan Ngudung Demak.
“Dalam manuskirpa yang saya baca, tugas Sunan Kudus pada mulanya dihadirkan sebagai seorang yang bertugas menegakkan sistem hukum suatu masyarakat dan kekuasaan kehakimannya.” Karena itu, ia dikenal sebagai sarjana hukum yang ulung.”
Menurut Irfan Sunan Qudus, terdapat visi disiplin dalam beberapa pandangan agama. Yakni ketahanan, moral ekonomi, dan keberlanjutan.
Irfan mengatakan Sunan Qudus tidak menafikan hal tersebut, artinya menerima identitas masyarakat yang ada kemudian mengubahnya menjadi budaya baru.
“Misalnya ternak tidak boleh disembelih, Majapahit diambil untuk memperkuat kedaulatan masyarakat suci,” jelas Irfan.
Afifi menambahkan, sikap inilah yang membedakan corak masyarakat Kudus dengan santri atau masyarakat lainnya. Terutama di wilayah selatan Jawa.
Menanggapi pertanyaan pada dialog budaya tersebut, Anggota Parlemen Kudus Samani Intakoris mengaku punya dua rencana besar di tahun 2025. Ada rencana renovasi Jubilee Suci dan pembuatan museum Sunan Kudus.
Samani menekankan pentingnya menelusuri sejarah dan peran Sunan Kudus dalam pembangunan Kabupaten Kudus. Berkat falsafah Gusjiganga (kebaikan, Al Quran, bisnis) yang diwariskan Sunan, maka Kudus menjadi landasan kehidupan masyarakat Kudus.
“Namun, kami merasa ini bukanlah akhir. “Perlu diskusi dan penelitian mendalam untuk mengetahui lebih jauh peran Sunan Kudus dalam membentuk jati diri Kudus yang kita kenal saat ini,” jelas Samani.
Samani juga ingin memperluas pengetahuannya tentang sejarah Sunan Kudus. Kemudian dokumentasikan museum tersebut. Keberadaan museum ini dimaksudkan untuk memperkenalkan generasi penerus dan masyarakat umum mengenai sejarah dan peninggalan Sunan Kudus.
Samani berharap para tokoh budaya dan masyarakat dapat berkontribusi dalam pengumpulan informasi dan artefak yang akan ditampilkan nantinya.
“Dengan adanya Museum Sunan Kudus dan revisi ulang tahunnya, kami berharap Kudus memiliki landasan sejarah yang kuat dan menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat luas,” kata mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kudus.
Tak hanya itu, Samani juga berencana membuat kelompok kajian HUT Suci. Langkah ini merupakan bentuk penelusuran fakta sejarah terciptanya Kudus.
“Setelah pelantikan, kami langsung membentuk kelompok belajar agar tidak ada lagi perselisihan pendapat. Yobel Suci). “Tentunya perlu kesepakatan, kesepakatan dan kajian bersama,” tutupnya.
(Arif Pramono)