Pengusaha Tunggu Janji Menkes Ajak Diskusi Aturan Kemasan Rokok Polos
thedesignweb.co.id, Jakarta – Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengaku sudah berbicara dengan pelaku industri terkait kontroversi kebijakan kemasan polos rokok tak bermerek. Hal itu tampak dari rancangan peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan turunan dari PP nomor 28 tahun 2024.
Namun, tampaknya banyak asosiasi perdagangan mempunyai pandangan berbeda, dan protes dan penolakan masih terus berlangsung. Artinya kontribusi pelaku usaha tidak diperhitungkan.
Menkes mengatakan kliennya saat ini sedang mengkaji kebijakan kemasan rokok polos tanpa label dengan mitra usaha. Ia pun mengaku mengundang asosiasi perdagangan dalam diskusi untuk membahas aturan tersebut.
“Iya memang sedang didalami. Kami ajak bicara dengan mitra,” kata Menkes beberapa waktu lalu.
Berdasarkan catatan Federasi Serikat Pekerja Industri Rokok dan Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM), rapat dengar pendapat resmi Kementerian Kesehatan tentang RPMK terkait produk tembakau hanya dilakukan satu kali.
“Sejauh ini Kementerian Kesehatan belum mengumumkan jadwal resmi rapat dengar pendapat lanjutan atas masukan dari berbagai pihak,” kata Ketua Umum PP FSP RTMM Sudarto, Kamis (26 September 2024). .
Di sisi lain, protes terhadap aturan kemasan rokok polos tanpa tanda terus berlanjut. Sebab, aturan tersebut dinilai mengancam kelangsungan usaha dan masyarakat pada umumnya.
Misalnya saja Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang sudah memperingatkan pemerintah mengenai pasal-pasal bermasalah di PP 28/2024 dan RPMK. Kedua peraturan tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan instabilitas di berbagai sektor terkait. Termasuk ritel, pertanian, dan industri kreatif yang bergantung pada ekosistem industri tembakau.
Wakil Ketua Umum Apinda, Franky Sibarani, menilai kendala besar aturan tersebut adalah proses pembuatan dan isinya tidak sepenuhnya benar. Sebab, pemerintah tidak memasukkan sektor industri saat membuat PP 28/2024 atau RPMK.
“Kondisi industri saat ini sedang dalam kondisi terkontraksi akibat menurunnya permintaan pasar, baik global maupun lokal. Regulasi yang telah disahkan tidak boleh mematikan industri tembakau dan sektor terkait,” ujarnya.
Oleh karena itu, Apindo menghimbau agar proses penyusunan dan pelaksanaan PP 28/2024 dan RPMK lebih terbuka dan komprehensif mencakup seluruh pihak yang terkena dampak. Melaksanakan kebijakan yang seimbang dan berbasis bukti (evidence based policy).
“Kami tidak menolak peraturan, namun peraturan tersebut harus disusun dan dilaksanakan secara adil dan seimbang, dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian terkini dan kompleksitas posisi industri tembakau dalam menopang perekonomian nasional,” tegas Franky.
Di sisi lain, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan juga mengungkapkan kekhawatirannya atas dampak kebijakan Kementerian Kesehatan yang terlalu ketat.
“Jika regulasi yang ada justru memberikan tekanan pada industri formal, maka rokok ilegal akan semakin menjamur. Kemasan polos dan pembatasan iklan luar ruang bukanlah solusi efektif untuk menurunkan prevalensi merokok, namun hanya akan membuka jalan bagi produk-produk ilegal. itu akan merugikan negara dari sisi penerimaan cukai,” jelasnya.
Henry berpendapat bahwa kemasan rokok biasa tanpa label berbahaya dan memandang industri tembakau sebagai produsen farmasi. “PP 28/2024 yang mengatur tentang bentuk dan tulisan pada kemasan rokok terlalu ketat dan merugikan. RPMK yang muncul begitu saja merupakan desain yang sangat represif dan seragam,” tutupnya.