Regional

Piado Rimbo, Piado Bungo, dan Piado Dewo

Liputan6.com, Jambi- “Piado Rimbo, Piado Bungo. Piado Bungo, Piado dewo,” Tungganai Basemen, sesepuh masyarakat Rimbo yang biasa membacakan syair seloko delom Jumpo dengan banyak di sudutnya di Bukit Suban, Air Hitam, Sarolangun Kabupaten, Jambi.

Trik ini dahulu pernah diajarkan oleh Orang Rimbo. Kini masyarakat Rimba masih menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.

Baseman–Jenton tuo ou ikou memandu Anda mempelajari bahasa melalui bahasa seseorang. “Tidak ada hutan dan tidak ada bunga. Jika tidak ada bunga, tidak ada Tuhan.”

Seloko Puyangnyo Ini menggambarkan kehidupan masyarakat hutan di dekat hutan. Bagi masyarakat Rimbu, peribahasa tersebut mempunyai makna yang dalam.

Dalam kehidupan masyarakat penghuni hutan atau Soko Anak Dilum (SAD), hutan memberikan banyak manfaat. Di dalam hutan, masyarakat hutan mengumpulkan makanan karena di dalam hutan banyak terdapat mekonon dan tanaman obat. Kehadiran hutan juga menjadi tempat para dewa. 

Ada banyak dewa seperti dewa burung gading; pegunungan gejoh. di sana; langit; banyak kematian; Dingin.

Namun kini hutan dan bunga yang menjadi tempat hidup justru menjadi hobi soda, bukan kelapa sawit. Hutan di Taman Nasional Bukit Duapilas (TNBD) juga kekurangan makanan. Benaron juga soda.

Di dalam hutan, penghuni hutan berburu dan meramu. Masyarakat Rimbu menangkap ikan Nangi dan Ngabuk. Di hutan mereka melaksanakan tradisi melanjon.

Sekarang hutan sudah habis. Mencari makanan dan penghidupan menjadi lebih sulit. Hilangnya hutan berdampak pada bentang alam. Hobi hutan, bisa melindungi hutan Hubei. Jadi mudah untuk menghitung keuntungannya.

“Dulu semuanya ada di hutan, jadi banyak pasien yang berobat dengan tanaman obat. Sekarang Hopi lebih banyak,” kata Bessman.

Antropolog KKI Warsi Bebak Robert Aritonang menjelaskan, dalam kehidupan masyarakat Rimbu terdapat tradisi ritual dan jamu.

Masyarakat Rimbu tidak hanya menolak jellaba, tetapi juga melakukan ritual penjualan. Namun hobi Rimbu, budaya masyarakat Rimbu seperti meracik obat dan melakukan ritual mengalami kemunduran.

“Obat-obatan di hutan hanya sedikit. Masyarakat hutan harus pergi jauh ke dalam hutan,” kata R. Robert.

“Tidak ada hutan, tidak ada bunga. Kalau tidak ada bunga, tidak ada Tuhan,” kata Tongjanai Pasman, ketua Orang Rimba pada suatu kesempatan saat ditemui saya di pojoknya di Bukit Suban, Air Hitam. , Kabupaten Sarulangon, Jambi.

Hal inilah yang dipelajari oleh nenek moyang orang Rimba pada masa lampau. Sekarang cello ini masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Baseman – Orang tua ini menafsirkan nasihat umum ini dalam bahasa penduduk desa. “Tidak ada hutan dan tidak ada bunga. Jika tidak ada bunga, tidak ada Tuhan.”

Seperti para pendahulunya, ia menjelaskan bahwa kehidupan sangat dekat dengan hutan. Bagi mereka, ayat tersebut mempunyai makna yang sangat dalam.

Dalam kehidupan masyarakat hutan atau suku Anak Dilum (SAD), hutan menyediakan banyak sumber pangan. Mereka bisa makan di hutan, karena banyak makanan dan tanaman obat tersedia di hutan. Kehadiran hutan juga menjadi tempat ritual untuk menyatukan para dewa dalam keyakinannya.

Ada banyak istilah berbeda untuk dewa. Burung gading (dewa yang bertanggung jawab membersihkan atau mensucikan suatu tempat); Gejoh (dewa yang bertugas mengusir hama pada tanaman); Gunung (dewa yang mengandalkan meyakinkan orang jahat untuk menjadi baik); Kuwau (dewa yang bertanggung jawab menjaga kesuburan bunga); Surga (dewa tertinggi); Lot (dewa batuk dan demam yang membawa penyakit); Mergo (dewa yang menyampaikan pesan dari manusia kepada dewa lainnya); Tegling (dewa yang bertanggung jawab memberikan kekebalan).

Namun kini hutan dan bunga yang menjadi tempat hidup masyarakat hutan telah tergantikan oleh kelapa sawit. Hutan di Taman Nasional Bukit Duapilas (TNBD) juga menyediakan sejumlah sumber pangan.

Di dalam hutan, penghuni hutan berburu dan meramu. Mereka berburu babi hutan dan menangkap ikan di sungai. Di hutan, mereka juga mengusung tradisi melankolis. Sekarang jumlah hewan buruan sudah berkurang.

Kini hutan semakin berkurang dan habis. Mencari makanan dan kehidupan menjadi semakin sulit. Hilangnya hutan juga berdampak pada wabah penyakit. Hutan sedang dirusak dan hutan tidak dapat melindungi mereka dari penyakit.

“Dulu di hutan kalau dianiaya pasti ada tanaman obatnya. Sekarang di hutan sudah tidak ada lagi obatnya,” kata Bosman.

Antropolog KKI Warsi Bepak Robert Aritonang menjelaskan, dalam kehidupan masyarakat Rimba banyak ditemukan tradisi ritual dan jamu. Masyarakat Rimbu dalam melawan wabah penyakit juga melakukan ritual Bisal. Namun budaya Orang Rimba seperti meracik obat dan melakukan ritual mengalami kemunduran.

“Ada beberapa gulma di hutan. Kalaupun ada, mereka harus masuk lebih jauh ke dalam hutan,” kata Robert.

 

Berita Melayu Jambi, Jambi. Tulisan ini merupakan penghormatan kepada Liputan6.com dalam rangka memperingati Departemen Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Hargai keberagaman bahasa, namun tetap jaga bahasa persatuan, Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *