Presidential Threshold Dihapus, Angin Segar Demokrasi Indonesia
thedesignweb.co.id, Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta membatalkan batas waktu pencalonan presiden dan wakil presiden atau 20 persen masa jabatan presiden berdasarkan UU No. 7 tentang pemilihan umum (Pemilu) Pasal 222.
Putusan tersebut dibacakan dalam perkara pengadilan nomor 62/PUU-XXII/2024. Majelis Nasional berpendapat bahwa UU No. 7 tentang Pemilu Pasal 222 bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan Pasal 222 MK yang mengatur syarat masa jabatan calon presiden dan wakil presiden, hanya partai politik yang memperoleh 20% mandat di DPR atau hanya 25% dari suara sah nasional pada pemilu sebelumnya yang dapat dicalonkan. . kekuatan hukum.
Permohonan para pemohon dikabulkan sepenuhnya, kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025.
Dalam pengujian undang-undang tersebut, Mahkamah melihat banyak pemilu presiden dan wakil presiden yang didominasi oleh partai politik yang berpartisipasi dalam beberapa pemilu, dan mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden.
Akibatnya, hak konstitusional pemilih untuk memilih calon presiden dan wakil presiden yang tepat menjadi terbatas.
Selain itu, DPR juga berpendapat bahwa dengan terus menetapkan batas persentase minimal calon presiden dan wakil presiden serta mengevaluasi secara cermat arah kebijakan yang diambil di Indonesia saat ini, terdapat kecenderungan yang jelas untuk berusaha lebih keras lagi. 2 (dua) kali pemilihan presiden dan wakil presiden.
Padahal, lanjut Mahkamah, pengalaman sejak pemilu langsung menunjukkan hanya ada 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden, mereka mudah terjebak dalam polarisasi masyarakat (divided society) yang jika tidak diharapkan , mengancam keberagaman Indonesia.
Meski pengaturan ini terus berlanjut, namun bisa diasumsikan bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden akan terikat pada satu calon. Tren ini setidaknya dapat dilihat pada pemilu tingkat daerah, yang terkadang meningkat menjadi pemilu dengan kandidat tunggal atau pemilu kotak suara.
Hal ini, menurut Mahkamah, berarti membiarkan atau mempertahankan jangka waktu minimum pencalonan calon presiden untuk jabatan wakil presiden, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 UU Pemilu, dapat menghambat atau menghambat terselenggaranya pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. presiden. orang, memberikan kandidat banyak pilihan.
Apabila hal ini terjadi, maka hilang makna Pasal 6A Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau hilang sekurang-kurangnya salah satu tujuan yang ingin dicapai melalui amandemen konstitusi yang merupakan asas-asas dasar penjaminan hak asasi manusia. pelaksanaan kedaulatan negara dan perluasan partisipasi masyarakat agar selaras dengan pembangunan demokrasi. Anggota Mahkamah Konstitusi Saldi Isra pada Kamis, 2 Januari 2025.
Permintaan tersebut diketahui diajukan empat mahasiswa UIN Fakultas Syari’at dan Hukum Sunan Kalijaga. Para pemohon mendalilkan konsep “satu orang memilih satu nilai” terdistorsi dengan hadirnya ambang batas presidensial.
Dalil pertimbangan materi minimal masa jabatan pasangan presiden dan wakil presiden (Mahkamah Presiden) juga diajukan dalam tiga perkara lain, perkara nomor 129/PUU-XXI/2023 yang diajukan Gugum Ridho Putra.
Selanjutnya, perkara nomor 87/PUU-XXII/2024 dimohonkan oleh empat orang guru, antara lain mantan Ketua Bawaslu Muhammad, Diana Fitri Sabrina, S Muchtadin Al Attas, dan Muhammad Saad.
Selain itu, perkara nomor 101/PUU-XXII/2024 diajukan oleh Jaringan Pemilu untuk Demokrasi dan Integritas (Netgrit) yang masing-masing diwakili oleh Hadar Nafis Gumay dan Titi Angraini.
Baca juga: Oleh karena itu, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Minta Hak Presiden untuk Memeriksa Materi Diberikan kepada Presiden
Keputusan MK ini pun mendapat tanggapan beragam. Banyak yang mendukungnya, tak sedikit pula yang menentangnya. Putusan Mahkamah Konstitusi ini tentu membuka lapangan politik yang lebih luas bagi para calon pemimpin negara.
Menurut Satria Unggul Wicaksana, pakar hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya. Menurut Satria, penghapusan Presidential Threshold merupakan angin segar bagi demokrasi Indonesia.
Ambang batas 20 persen yang sebelumnya mempersempit ruang politik calon potensial. Akibatnya, seringkali calon presiden didasarkan pada kemauan partai politik, bukan hanya kemauan rakyat, kata Satria Unggul Wicaksono, dilansir Antara. pada hari Jumat. 3 Januari 2025.
Dekan Fakultas Hukum UM Surabaya ini berharap dengan dihilangkannya Presidential Threshold maka ruang gerak calon presiden semakin luas. Putusan Mahkamah Konstitusi ini juga menunjukkan bahwa lembaga ini ingin berpihak pada kepentingan publik dan memperkuat supremasi hukum di Indonesia.
Ia mengatakan, keputusan Mahkamah Konstitusi merupakan peluang untuk memperkuat demokrasi Indonesia, meski tetap memerlukan pemantauan dan implementasi terus-menerus ke depan.
Senada, akademisi Universitas Dzhuang Aep Saepudin Mukhtar menilai putusan Mahkamah Konstitusi no. 62/PUU-XXII/ akan memperkuat kedaulatan negara pada tahun 2024 yang membatalkan batas waktu pencalonan presiden.
“Ini merupakan langkah memperkuat demokrasi di Indonesia, memperkuat hak politik dan kedaulatan negara, serta membuka persaingan yang sehat dalam pengangkatan presiden dan wakil presiden,” demikian laporan Antara, Jumat, 3 Januari 2025.
Pria bernama Gus Udin ini menilai penghapusan Presidential Threshold akan mengurangi dominasi partai-partai besar dan oligarki yang berkuasa, serta membuka peluang bagi semua partai politik untuk mengikuti pemilu untuk mengangkat presiden dan wakil presiden.
“Juga membuka ruang bagi partai-partai kecil untuk berpartisipasi aktif dalam proses politik,” kata Gus Udin.
Sebuah tantangan baru
Namun Satria Unggul Wicaksono menilai pembatalan masa pencalonan presiden juga menimbulkan tantangan baru, yakni proses pencalonan akan semakin sulit.
Selain itu, penghapusan ambang batas presiden juga dapat meningkatkan kerja sama politik, mengingat masing-masing partai mempunyai peluang untuk mencalonkan presiden.
“Demokrasi kita masih dalam tahap awal. Berbeda dengan sistem dua partai di Amerika, sistem multi partai kita menawarkan peluang besar untuk menunjuk seorang presiden. Ini tentu menjadi tantangan baginya,” ujarnya.
Satria menekankan pentingnya menciptakan proses pencalonan presiden yang benar-benar mencerminkan kehendak rakyat melalui konvensi partai politik atau UUD 1945 lainnya yang sesuai.
“Putusan MK diharapkan dapat diterjemahkan menjadi undang-undang pemilu yang lebih mendukung persatuan, sehingga pemilu mendatang tidak didominasi oleh elit politik individu, tetapi juga mencakup masyarakat secara keseluruhan,” ujarnya. dikatakan.
Baca juga: Ambang Batas Presiden Dihapus, MK Beri 5 Instruksi ke DPR dan Pemerintah Amandemen UU Pemilu
Saat ini, pemerintah sedang mempertimbangkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pembatalan batas minimal pencalonan calon presiden dan wakil presiden.
Menteri Kehakiman Supratmans Andi Agtas mengatakan kajian tersebut perlu dilakukan karena Mahkamah Konstitusi belum mengumumkan kapan putusan tersebut akan dilaksanakan.
Di sisi lain, yang jelas pemerintah juga akan mengoordinasikan masalah ini, karena saya belum membacanya secara tuntas, kata Supratman di Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025.
Menurut Supratman, Mahkamah Konstitusi kerap menentukan masa berlaku beberapa putusan. Namun terkait penetapan Presidential Threshold, Supratman menilai belum ada keputusan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi.
Meski demikian, Supratmans menyatakan pemerintah tetap meyakini putusan MK bersifat final dan mengikat.
Suupratman tidak mempermasalahkan isi putusan tersebut, namun hanya mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi kini telah menghapuskan ambang batas presiden, berbeda dengan keputusan gagasan sebelumnya yang menurunkan ambang batas tersebut.
“Apa pun putusan MK, karena sudah final dan sah, kami akan melihat dan mengkaji kapan berlakunya. Antara melaporkan.
Oleh karena itu, Supratmans mengatakan, putusan MK akan diserahkan kepada penyelenggara pemilu (pemilu) oleh Kementerian Kehakiman (Ķemenkum) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Selain itu, lanjutnya, pemerintah dan parlemen juga akan mengkaji keputusan perubahan undang-undang pemilu.
Sebab, kata dia, jika keputusan itu terkait dengan penyelenggaraan pemilu, maka akan terjadi perubahan undang-undang dan peraturan KPU agar semuanya selaras.
Senada, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavians mengatakan akan melihat dulu putusan Mahkamah Konstitusi.
“Kita pendalaman dulu, saya bacakan hasil keputusannya. Saya baru dengar dari media,” kata Tito usai berkunjung ke Pasar Tanah Tinggi, Kota Tangerang, Jumat, 3 Januari 2025.
Tito meyakinkan, dirinya tidak bisa begitu saja menanggapi putusan MK. Jadi dia akan membawa keputusan itu terlebih dahulu ke rapat internal untuk mengkajinya.
“Saya bacakan, nanti ada rapat dengan Kemendagri, lalu ada rapat dengan pemerintah, bagaimana sikapnya, kita baca dulu,” kata Tito.
Di sisi lain, Menteri Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Jusril Ihza Mahendra menyatakan menghormati dan siap melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi tentang penghapusan ambang batas pemerintahan presiden.
“Sesuai dengan Pasal 24C UUD 1945, putusan Mahkamah Konstitusi merupakan putusan pertama dan terakhir yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan sah,” kata Jusril Tamina dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat, 3 Januari 2025.
Yusril menegaskan, semua pihak, termasuk pemerintah, terikat dengan putusan MK, namun tidak bisa mengajukan banding ke pengadilan.
Sepengetahuan pemerintah, terdapat lebih dari 30 permohonan peninjauan kembali Pasal 222 UU Pemilu, dan hanya upaya terakhir ini yang dikabulkan.
Selain itu, menurut Yusril, pemerintah mengalami perubahan sikap Mahkamah Konstitusi terhadap kesesuaian ketentuan Pasal 222 UU Pemilu dengan UUD dibandingkan keputusan yang diambil – komentar sebelumnya.
“Namun apapun keputusan Mahkamah Konstitusi, pemerintah menghormatinya dan tentunya tidak bisa berkomentar seperti yang dilakukan akademisi atau aktivis. “Mereka bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kewenangan hukum,” kata Yusril.
Yusril menambahkan, pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 87, 121 dan 129/PUU-XXII/2024 yang membatalkan adanya masa jabatan presiden dan masa jabatan wakil presiden, maka dengan sendirinya internal pemerintah akan menilai dampaknya. implementasi ini. pemilihan presiden 2029.
“Jika diperlukan perubahan dan penambahan ketentuan dalam undang-undang pemilu akibat penghapusan Presidential Threshold, tentu pemerintah akan bekerja sama dengan DPR,” kata Yusril.
“Seluruh pemangku kepentingan baik KPU dan Bawaslu, akademisi, penggiat pemilu, dan masyarakat tentunya akan ikut serta dalam pembahasan nanti,” kata Yusril.
Ketua Dewan menyetujui keputusan Mahkamah Konstitusi (MA) yang membatalkan masa jabatan 20 persen calon presiden dan wakil presiden atau masa jabatan 20 persen bagi Ketua Pusat PKS Mardani Ali Ser.
Mardani mengatakan, keputusan tersebut membuka jalan bagi masing-masing partai di parlemen untuk mencalonkan presiden dan wakil presidennya.
“Mahkamah Konstitusi menyetujui. Memenuhi syarat yang ada. Semua partai yang masuk DPR bisa mengajukan calon presiden dan wakil presidennya,” kata Mardani kepada wartawan, Kamis, 2 Januari 2025.
Namun keputusan MK harus berpedoman pada revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Mardani menilai penyesuaian ambang batas hukum akan menimbulkan konflik kepentingan.
Mardani mengatakan, ambang batas parlemen PKS tetap ada, namun diturunkan di bawah 20 persen.
“Namun yang jelas UU 7 Tahun 2017 harus direformasi. Kemungkinan terjadinya kompromi atau konflik kepentingan harus tetap dijaga. Tapi bagusnya tidak turun 20 persen,” kata politikus PKS ini.
Partai Demokrat menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan kuota 20 persen pengangkatan presiden dan wakil presiden. Partai Demokrat menilai keputusan Mahkamah Konstitusi sah.
“Putusan MK bersifat final dan sah. Sikap kami tidak berubah menyikapi putusan MK. Kami menghormati apapun putusan MK. Konstitusi,” kata Koordinator Partai Demokrat Herzaki Mahendra. Putra untuk pers, Kamis, 2 Januari. Tahun 2025.
Herzaki meyakini seluruh putusan Mahkamah Konstitusi telah melalui proses yang mendalam dan mempertimbangkan berbagai aspek, dengan tetap mengedepankan kebenaran dan keadilan.
Dikatakannya, Indonesia adalah negara yang berlandaskan hukum dan sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk menghormati segala hasil hukum pengadilan.
“Apalagi ini merupakan hasil hukum dari Mahkamah Konstitusi. Ini adalah lembaga tingkat tinggi yang menggunakan peradilan independen untuk menegakkan hukum dan keadilan,” kata Herzaki.
Ia berharap putusan MK dapat berkontribusi dan membantu demokrasi Indonesia untuk berkembang dan membaik.
“Hal ini semakin mendekatkan kita pada tujuan memberikan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.” Hal ini yang selalu kita lakukan sebagai Demokrat, yaitu terus berkontribusi dan berjuang bersama rakyat untuk menjaga dan meningkatkan kualitas demokrasi kita. ” tutupnya.
Ketua DPP PDI Peryuangan (PDIP) Said Abdullah mengatakan, partainya akan menerima dan menaati keputusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut Presidential Threshold.
“Dengan adanya putusan ini, kami sebagai partai politik menerima dan menaatinya sepenuhnya, karena putusan Mahkamah Agung Hak Konstitusional tersebut bersifat final dan sah,” demikian keterangan yang diterima, Jumat, 3 Januari 2025.
Syed menjelaskan, dalam mempertimbangkan putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi Tinggi juga memerintahkan kepada lembaga legislatif, dalam hal ini pemerintah dan DPR, untuk memastikan calon presiden dan wakil presiden tidak terlalu banyak yang dapat merusak kemapanan presiden dan wakil presiden. kepresidenan. dan pemilihan umum wakil presiden.
“Tentunya ini akan kita jadikan pedoman nanti dalam pembahasan reformasi UU Pemilu antara pemerintah dan DPR,” kata Said.
Said membenarkan, sikap PDIP saat membahas Pasal 222 UU Pemilu adalah memperkuat kuatnya dukungan politik DPR terhadap presiden dan wakil presiden terpilih.
“Dengan dukungan kuat DPR, kebijakan, anggaran, dan agenda presiden dan wakil presiden terpilih dapat berjalan lancar,” kata Said.
Wakil Presiden Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Dolej mengatakan partainya mendukung penuh keputusan Mahkamah Konstitusi karena pemilu presiden selama ini tidak adil.
“PAN mendukung keputusan Mahkamah Konstitusi yang menaikkan ambang batas presiden sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu,” kata Saleh kepada wartawan, Kamis, 2 Januari 2025.
Saleh mengatakan, PAN sudah lama bersitegang dengan elemen lain di Tanah Air untuk menghilangkan ambang batas pencalonan presiden.
Menurutnya, secara sistematik, penerapan Presidential Threshold sangat tidak adil karena banyak hak warga negara yang tidak dihormati dan dihukum.
“Kalau PT dipakai, berarti tidak semua warga negara berhak jadi presiden. Yang bisa mencalonkan diri hanya mereka yang punya banyak dukungan politik. Pada saat yang sama, sangat sulit mendapatkan dukungan politik seperti itu,” kata Saleh.
Saleh mengatakan, masih banyak calon pemimpin nasional di Indonesia yang layak diusung di Pilpres. Mereka ada di kampus, bekerja sebagai profesional, aktivis di organisasi akar rumput, LSM, dll.
Namun, mereka tidak berniat mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden. Sebab, mereka minim modal dasar dan pengalaman sebagai pimpinan partai politik.
“Dengan adanya keputusan MK ini, diharapkan seluruh fraksi dapat duduk bersama merencanakan sistem pemilihan presiden di negara kita ke depan. Yang jelas harus ada upaya untuk memastikan semua orang setara dalam pengajuan dan pengangkatannya,” kata Saleh.
Saleh berpendapat bahwa prinsip dasar demokrasi adalah kesetaraan dan supremasi hukum dan pemerintahan. Hal ini harus dimulai dengan sistem inovasi dan perubahan manajemen di semua tingkatan.
“Kalau PAN, Insya Allah kami sangat bersyukur atas keputusan ini. Kita berharap calon presiden dan wakil presiden akan banyak. Dan tentu saja, jika memungkinkan, kami juga bermimpi untuk memberikan semangat kepada para pemimpin kami. Atau setidaknya bekerja. bersama-sama dan bekerja sama dengan pihak atau unsur lain di tanah air,” ujarnya.
Sebaliknya, Sekretaris Jenderal Partai NasDem Hermavi Taslim menyatakan, ambang batas masih diperlukan untuk menemukan pemimpin yang andal.
“Presidential ambang batas diperlukan dalam aturan main maupun tim utama untuk menemukan pemimpin yang dapat diandalkan. Ambang batas ini merupakan aturan sederhana dan umum yang dapat diterapkan kepada semua orang,” kata Hermavi kepada pers, Kamis. 2/2). 1/2025).
Padahal, kata Hermavi, baik dalam pemilihan ketua organisasi maupun pemilihan di tingkat kotamadya, bahkan di tingkat paling bawah sekalipun, dalam hal ini harus ada pagar.
“Pilpres tanpa ambang batas kemungkinan tidak terpikirkan, apalagi bagi negara Republik Indonesia yang berpenduduk ratusan juta jiwa, hal itu tidak terpikirkan,” kata Hermavi.
Oleh karena itu, Hermavi menilai putusan MK mengabaikan berbagai akibat negatif yang nantinya menimbulkan kesulitan dan kesulitan dalam pelaksanaannya.
“Jika kesadaran politik dan/atau pendidikan masyarakat meningkat, yang terpenting adalah memperhatikan pidato presiden dan tidak membatalkannya sama sekali,” kata Hermavi.
“Ada batasan dalam memilih ketua kelas,” pungkas Hermavi.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Sarmuji mengaku kaget dengan keputusan CM tersebut. Pasalnya, permohonan desentralisasi sudah berkali-kali ditolak.
“Putusan MK ini sangat mengejutkan, mengingat putusan MK 27 sebelumnya sudah berulang kali ditolak,” kata Sarmuji kepada wartawan, Kamis, 2 Januari 2024.
Menurut dia, pendapat Mahkamah Konstitusi dan MP mengenai tujuan penerapan ambang batas tersebut tidak berubah. Dia terkejut karena ambang batasnya dihilangkan.
“Dalam 27 putusannya, Mahkamah Konstitusi dan legislatif selalu mempunyai pendapat yang sama, yaitu tujuan masa jabatan presiden adalah untuk mendukung sistem pemerintahan presidensial secara efektif,” kata Sarmuji.
“Sekarang juga, sekarang juga. Nanti kalau shocknya sudah reda, aku jawab lagi,” ucap Sarmuji.