Regional

Putusan Mardani H Maming Sesat Hukum, Mahfud Md : Brantas Mafia Peradilan

Liputan6.com, Jakarta – Kasus pertama Deputi Eselon 1 Mahkamah Agung Zarov Rikard merupakan kasus pelanggaran peradilan kecil di Indonesia.

Menurut Dr. Mahfud, kasus ini menandai perubahan besar bagi pemerintah Indonesia untuk mengembalikan kesucian hukum negara.

Anggap saja kasus ini mencakup beberapa kasus yang terjadi antara tahun 2012 hingga 2022.

“Kasus ini harus diusut dan jaksa harus membuka kasusnya kembali. Kalau bisa, saya ingin kasus ini diulangi lagi agar korbannya tidak dihukum karena masih anak-anak. Oleh karena itu,” ujarnya.

Dia menilai jika ada korban kambing hitam dalam banyak kasus yang ditampilkan dalam kasus ini, jaksa bisa melakukan peninjauan kembali.

Kasus ini menyoroti fakta bahwa banyak kasus yang ditangani oleh Mahkamah Agung diadili secara tidak memihak, sehingga menunjukkan tingginya tingkat hambatan.

Kasus yang banyak mendapat perhatian mengenai pengaruh kasus ini terhadap keputusan hakim yang salah terhadap biaya sebenarnya adalah kasus Mardani H. Maming.

Profesor Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran menilai ada kesalahan dalam penanganan kasus Mardani H. Maming.

Setidaknya ada delapan kesalahan serius dalam penanganan kasus Mardani H. Maming, ujarnya beberapa waktu lalu.

Dia menegaskan tuntutan dan hukuman pidana tidak didasarkan pada fakta hukum, melainkan asumsi aparat penegak hukum.

“Tuntutan hukum terhadap para terdakwa tidak hanya menunjukkan kekeliruan dan kekeliruan berat, namun juga kekeliruan hukum yang serius,” ujar Ketua Kelompok Penyusun RUU Pemberantasan Korupsi dan RUU Pemberantasan Korupsi ini. komite.

Seperti yang diungkapkan Profesor Romli, Dr. Muhammad Arif Setiawan, pakar hukum Universitas Islam Indonesia (UII), menilai meski belum ada bukti awal dalam kasus Mardani H. Mamin, namun ia sudah memiliki kasus tersangka.

Hal ini menunjukkan kasus BPP HIPMI yang lama menjadi bukti adanya kasus yang salah cara dan prosedurnya.

“Mungkin bukan soal penetapan tersangka pembunuhan tapi tidak ada bukti kematiannya,” ujarnya.

Dalam kasus ini, ia mengetahui Mardani H. Mamin ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi tanpa sahnya pemeriksaan kerugian negara.

Seperti yang dikatakan pakar hukum pidana Arif, kasus seperti ini biasanya bersifat serius sehingga harus ada kerugian di pihak pemerintah sebelum bisa ditetapkan tersangka.

“Kalau tidak punya bukti, seharusnya tidak bisa dipaksakan, karena ada hukum pembuktian,” ujarnya.

Dijelaskannya, dalam perkara ini, jika Pak Mardani H. Mamin didakwa menerima suap, maka ada dua pihak, yaitu pihak yang memberi dan pihak yang menerima.

Dengan adanya bukti maka harus ditemukan kesepahaman antara kedua belah pihak, namun dalam hal ini tidak dapat dibuktikan bahwa penerima telah menerimanya.

Katanya, “Nah, bagaimana cara membuktikannya? Orang yang memberikannya sudah tidak ada lagi. Sekarang bagaimana cara membuktikannya?”

Dia mengatakan, dokumen yang diajukan terhadap Mardani H. Maming tidak bisa membuktikan apakah pihak-pihak yang terlibat menerima hadiah atau memberi keputusan izin pertambangan.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *