Sensasi Maknyos Permen Davos, Si Putih Menyegarkan yang Menembus Zaman
thedesignweb.co.id, Jakarta – Orang yang lahir di tahun 80an-90an diyakini sebagai generasi paling bahagia. Tumbuh di era yang serba ‘analog’, bukan digital, membuat generasi milenial – begitu mereka disapa – hidup dengan segudang cerita dan pengalaman indah di masa lalu. Kisah masa lalu menjadi kenangan manis yang kembali hadir saat melihat dan merasakan kembali artefak tahun 90an di era ini. Salah satunya adalah saat Anda masih bisa merasakan serunya menyantap permen legendaris Davos, Maknios.
Dari sekian banyak merek permen yang muncul di era 80an dan 90an, Davos merupakan salah satu permen yang masih bertahan di hati generasi milenial, bahkan mungkin hingga saat ini. Permen white mint ini tak hanya melegakan tenggorokan, tapi juga menjadi teman setia saat musim dingin tiba.
“Entah kenapa, kalau bicara permen jaman dulu, yang terlintas di benak saya adalah Davos, karena sampai sekarang pun masih ada, kemasannya tidak berubah,” kata Heru, seorang milenial.
“Permen karet juga populer karena ada penyakit lupus, tapi kalau bicara merek permen, permen karet itu banyak sekali. Dan kami tidak fanatik hanya pada satu merek permen karet. Beda sekali dengan Davos.” Sekarang masih ada kan,” kata Idri kepada milenial lainnya.
“Gila, permen jaman dulu masih ada. Melihatnya saja langsung flashback. Apalagi kalau dicicipi lagi, bisa senyum-senyum sendiri,” kata Indri lagi.
Jika menilik sejarahnya, keberadaan Davos Sweets sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1931, ketika Sim Kie Djian mendirikan pabrik manisan di Purbalingga, di bawah bendera PT Slamet Langgeng. Dari catatan sejarah, Davos bisa dikatakan sebagai permen rasa mint pertama di Indonesia, bahkan pantas disebut sebagai permen tertua di Indonesia. Menariknya, Pabrik Permen Dawas masih berdiri di Purbalingga, tempat pabrik pertama kali didirikan, di Jalan Ahmad Yani 67, Kandang Kepang, Purbalingga, Jawa Tengah, dan tanpa ada proses restorasi.
Sejarah panjang PT Slamet Langgeng sebagai produsen permen di Indonesia dimulai pada masa penjajahan Belanda, tepatnya pada tanggal 28 Desember 1931. Nama ‘Slamet’ diambil dari nama sebuah gunung di Purbalingga, sedangkan ‘Langgeng’ adalah Harapannya. bisnis permen ini bisa bertahan selamanya. Terinspirasi sejuknya pegunungan di Swiss, pendiri PT Slamet Langgeng kemudian memproduksi manisan dengan nama ‘Davos’.
Awalnya manisan legendaris ini diberi nama ‘Davos confectionery’ dan mencapai puncak kejayaannya pada era 1933-1937. Berhentinya dan kemunduran perang serta kemerdekaan membuat bisnis percetakan uang tidak selalu berjalan mulus. Hingga tahun 1942, pada masa penjajahan Jepang, penjualan permen Davos mengalami penurunan; Bisnis permen berada pada titik terendah. Tiga tahun kemudian, perusahaan tersebut mampu bertahan dan bangkit kembali. Bisnis permen di Davos kembali berjalan dan telah berdiri selama empat generasi.
Iing Tedjo, Wakil Presiden Direktur PT Slamet Langgeng sekaligus istri Budi Handojo, pemilik sekaligus pimpinan pabrik Davos generasi sekarang, kepada tim regional thedesignweb.co.id, Jumat (25/10/2024) sedikit tentang sejarah awal mula terciptanya permen Davos.
Ling mengungkapkan, Siem Kie Djian awalnya adalah pedagang gula pasir di kawasan Purbalingga. Ketika bisnis gulanya terus berkembang, ia mulai memproduksi kembang gula, disebut juga permen, di sebuah tempat kecil. Permen tersebut awalnya didistribusikan dalam skala kecil di sekitar Purbalingga, Banyumas, dan Silakap. Bahkan proses pendistribusiannya masih menggunakan gerobak lembu.
“Pada saat itu perusahaan memproduksi permen mint dengan merek Davos dan Kresno pada awalnya perusahaan tersebut masih merupakan perusahaan kecil, hal ini terlihat dari bengkel yang hanya menggunakan satu ruangan kecil untuk mesin cetak permen dan jumlah perusahaan yang sangat terbatas. berkembang dan dimulai pada tanggal 20 Maret 1933 mengembangkan produk minuman yaitu produk limun seiring berjalannya waktu perusahaan semakin berkembang dan akhirnya pada tanggal 20 Februari 1937 perusahaan mengembangkan kembali yang baru. produknya yaitu produksi biskuit,” kata Iing Tedjo.
Pada tahun 1942, ketika revolusi terjadi, perusahaan mengalami dampak yang menurunkan produksi dan akhirnya mendorong perusahaan ke dalam kemacetan. Setelah revolusi berakhir, dunia usaha mulai terbuka. Berkat kegigihan dan kerja keras Siem Kie Djian serta bantuan beberapa karyawannya yaitu Gunawan Budihardjo, Tedjo Harsono dan Bapak. Budi Winarno, perusahaan sudah pulih dan mengalami kemajuan pesat.
“Setelah perkembangan perusahaan lebih baik dan berkembang, akhirnya terbentuklah perusahaan perseorangan menjadi perusahaan patungan yaitu CV dan hal itu direalisasikan pada tanggal 6 Mei 1959,” ujarnya.
Perjalanan perusahaan CV tidak berlangsung lama, karena perusahaan tersebut berubah bentuk menjadi Perseroan Terbatas (PT), dengan akta Notaris Soetardjo Soemoatmodjo di Purvokerto pada tanggal 31 Maret 1961, dengan akta notaris nomor 24 dan disahkan di PT. . Dengan nama PT Purbasari & CO.
Karena nama perusahaan tersebut ditolak oleh Menteri Kehakiman RI saat itu, maka nama perusahaan diubah menjadi PT Slamet Langgeng & CO. Dengan disahkannya Akta Notaris Nomor 44 pada tanggal 29 September 1961. Kegiatan produksinya meliputi permen dengan merek Davos, Kresno, Alpina dan Davos Lux, serta produksi limun dengan merek Slamet, produksi kue kering dengan merek Slamet. .
Pada tahun 1961 hingga tahun 1967, perusahaan PT Slamet Langgeng & CO dipimpin oleh Siem Tjong An, namun karena Tjong An ingin melanjutkan studi di Belanda, maka posisi pimpinan diisi oleh Tony Siswanto Hardi sejak tahun 1968.
“Tahun 1973 kue kering dan limun sudah tidak diproduksi lagi karena terkendala pemasaran,” ujarnya.
Ketika Tony Siswanto Hardi meninggal dunia pada tanggal 1 Juli 1983, maka pengelolaan perusahaan dialihkan kepada Corie Simadibrata hingga Mei 1985. Karena usia Corie yang juga sudah senior, maka pengelolaannya dialihkan kepada Budi Handojo Hardi pada pertengahan tahun 1985 hingga Sekarang. Dibantu oleh putranya Nicodemus Hardy.
“Di tangan Budi, PT Slamet Langgeng melakukan perbaikan dan penataan sistem manajemen di seluruh departemen, termasuk departemen pemasaran,” ujarnya.
Siapa sangka setelah perjalanan jauh itu, ruangan kecil tempat produksi permen tersebut kini disulap menjadi bangunan pabrik seluas 6.000 meter persegi, lengkap dengan 8 kotak distribusi. Meski banyak perubahan di pabriknya, rasa mint pada permen Davos masih sama seperti sebelumnya.
Ling sendiri menjamin permen Davos menggunakan 98 persen gula pasir asli dan sisanya mentol plus bahan pengikat. Davos Candy, kata dia, tidak pernah menggunakan bahan pengawet dan pemanis buatan sehingga permennya tahan lama dan tidak mudah rusak. Yang pasti, mudah untuk dikatakan, rasa permen Davos tidak pernah berubah sejak saat itu.
Setidaknya ada beberapa alasan mengapa permen Davos bisa bertahan empat generasi dalam 90 tahun, selain rasa mintnya yang mampu melegakan tenggorokan. Pertama, perekrutan karyawan di pabrik Davos dilakukan secara bertahap.
Tak hanya dikelola keluarga secara turun temurun, pabrik permen Davos juga telah mempekerjakan karyawan dari generasi sebelumnya. Hal ini membuat rasa kekeluargaan antar karyawan di pabrik sangat kuat. Sikap kekeluargaan yang dibangun dalam manajemen dan pabrik menjadi salah satu hal yang menjadikan bisnis permen Davos berkelanjutan hingga saat ini.
Faktor kedua adalah prinsip kemanusiaan yang dianut pabrik Davos. Mungkin masih banyak masyarakat yang belum mengetahui bahwa semua peralatan yang digunakan pabrik permen Davos jauh dari kata canggih yakni kuno. Tak heran jika pemilik pabrik sengaja menggunakan alat-alat kuno, padahal penggunaan alat-alat canggih justru dapat meningkatkan efisiensi dan mempersingkat waktu produksi. Menurut Iing Tedjo, hal ini sebenarnya menjadi keuntungan bagi perusahaan sehingga bisa bertahan hingga saat ini.
“Di tengah perkembangan teknologi yang pesat, PT Slamet Langgeng tetap berpegang pada prinsip bahwa kekuatan manusia adalah kunci keberhasilan perusahaan. Bagi kami, mesin hanyalah alat, namun hati dan doa tulus para karyawanlah yang memastikan bahwa perusahaan akan tetap kuat hingga saat ini,” ujarnya.
Sejak didirikan, kata Iing, PT Slamet Langgeng telah mengalami beberapa tantangan, baik dari sisi sektor perekonomian maupun persaingan pasar. Namun, yang selalu menjadi kekuatan terbesar perusahaan bukanlah kecanggihan teknologinya, melainkan dedikasi dan solidaritas karyawan yang bekerja dengan hati dan jiwa.
“Setiap hari mereka datang tidak hanya sekedar menjalankan tugas, tapi juga membawa harapan dan doa bagi keberlangsungan perusahaan ini,” kata Iing.
Ling meyakini keberkahan yang diraih perusahaan datangnya dari karyawan yang tulus dan bekerja dengan niat baik. Doa para buruh menjadi energi yang lebih dari sekedar efisiensi produksi.
“Inilah sebabnya kami memilih untuk mempertahankan tenaga manusia dalam banyak proses kerja, meskipun ada kemungkinan untuk menggantikannya dengan mesin,” kata Ying.
Dengan mengandalkan kekuatan insan dan keimanan dalam doa, PT Slamet Langgeng terus berkembang hingga saat ini, tidak hanya sebagai sebuah badan usaha, namun sebagai sebuah keluarga besar yang berkomitmen untuk saling mendukung. Iing yakin selama kemitraan ini terus berlanjut, masa depan perusahaan akan tetap cerah, penuh berkah dan penuh harapan.
Faktor lain yang membuat permen Davos bisa bertahan hingga saat ini adalah Iing sebagai generasi keempat pemilik pabrik Davos sangat menjaga kualitas produk. Dari generasi pertama hingga generasi keempat, manajemen pabrik tidak pernah mengurangi kandungan mint pada permen, bahkan bentuknya tidak pernah diubah, memastikan kualitas tetap terjaga.
Permen Davos telah menjadi bagian dari kenangan banyak generasi, dengan cita rasa khasnya yang setengah matang dan kesegarannya yang tak tergantikan. Namun, di tengah semakin banyaknya merek permen yang beredar di pasaran dan perubahan gaya hidup yang lebih mengutamakan kesehatan, Davos menyadari bahwa inovasi adalah kunci untuk tetap relevan saat ini.
“Saat ini, masyarakat semakin peduli terhadap apa yang mereka konsumsi. Gaya hidup sehat menjadi prioritas utama, dengan banyaknya masyarakat yang beralih ke produk-produk yang tidak hanya enak, namun juga aman dan bermanfaat bagi kesehatan.” varian yang mengandung sedikit gula bahkan aman dikonsumsi oleh pasien diabetes,” kata Iing.
Bagi Iing, inovasi menjadi kunci kelangsungan hidup di tengah gempuran kemajuan teknologi dan semakin berkembangnya peradaban manusia. Inovasi formula baru Davos Sweets tentunya dilakukan dengan tetap menjaga kesegaran dan cita rasa khas manisan legendaris tersebut. Penggunaan bahan-bahan alami yang ramah kesehatan tidak mengurangi kenikmatan rasa mint yang telah lama menjadi ciri khas manisan Davos.
“Inovasi ini lahir dari komitmen kami untuk menyediakan tidak hanya manisan yang menyegarkan, tetapi juga manisan yang dapat dinikmati semua orang, termasuk mereka yang perlu mengatur asupan gula,” ujarnya.
Selain itu, Davos Candy juga bekerja sama dengan para ahli kesehatan dan nutrisi untuk memastikan bahwa setiap permen Davos kini lebih dari sekedar permen biasa. Davos menjadi pilihan bijak bagi mereka yang ingin sehat namun tetap ingin menikmati kesegaran alami.
“Di dunia yang semakin cepat berubah, Davos hadir sebagai permen yang tetap setia pada akar tradisionalnya, namun tidak ketinggalan zaman dengan inovasi yang berorientasi pada kesehatan, kami memastikan bahwa Davos tidak hanya menjadi bagian dari masa lalu, tetapi juga Sebuah solusi masa kini dan pilihan aman bagi mereka yang mengutamakan kesehatan,” kata Iing.
Produksi permen di Davos telah mengalami banyak perubahan seiring berjalannya waktu. Tantangan yang kita hadapi dulu dan sekarang sangat berbeda, terutama dalam bidang teknologi, preferensi konsumen, dan peraturan kesehatan.
“Dulu konsumen hanya fokus pada rasa dan fungsi dasar dari manisan, seperti efek menyegarkannya. Seringkali mereka mencari produk yang enak dan fungsional, tanpa terlalu memperhatikan nilai gizi atau efek kesehatannya. tubuh, kata Ying.
Kini segalanya berbeda: konsumen modern lebih sadar kesehatan dan sangat selektif dalam memilih produk yang ingin mereka konsumsi. Konsumen ingin menghindari produk dengan kandungan gula tinggi, pewarna dan pengawet buatan serta lebih memilih produk yang rendah kalori, bebas gula atau terbuat dari bahan alami.
“Hal ini memaksa produsen seperti Davos untuk menyesuaikan resep dan formula dengan tren hidup sehat,” kata Iing.
Dulu, kata Iing Tedjo, peraturan kesehatan dan keamanan pangan belum seketat sekarang. Produsen memiliki lebih banyak keuntungan dalam hal penggunaan bahan dan proses produksi. Namun kini peraturan yang sangat ketat, penggunaan bahan tambahan dan pelabelan produk membuat perusahaan harus lebih berhati-hati.
“Perlunya informasi gizi yang jelas dan kepatuhan terhadap peraturan kandungan gula, terutama karena adanya kebutuhan akan produk yang aman bagi pasien diabetes dan masyarakat yang peduli terhadap kesehatannya,” kata Iing.
Belum lagi persaingan di pasar. Dulu, kata Iing, persaingan di pasar permen cenderung lebih sederhana, dengan hanya sedikit merek yang mendominasi pasar. Permen Davos mungkin lebih mudah dikenali karena minimnya berbagai merek yang bersaing secara global. Namun kini pasar permen jauh lebih kompetitif, apalagi sejak dibukanya pasar bebas, permen buatan luar negeri bisa masuk ke Indonesia.
“Secara umum, produksi permen Davos saat ini menghadapi tantangan yang lebih kompleks dibandingkan masa lalu. Selain memastikan produk tetap lezat dan menyegarkan, Davos juga harus beradaptasi dengan tren kesehatan, teknologi, dan peraturan yang terus berubah untuk bertahan dalam persaingan yang semakin ketat. bisnis yang sadar lingkungan,” kata Ling.
Kini Davos bukan sekadar permen, warna putih menyegarkan ini sudah menjadi artefak, bagian tak terpisahkan bagi generasi 90-an, sahabat yang selalu ada di saat suka dan duka. Iing Tedjo percaya bahwa di antara semakin banyaknya merek permen dengan rasa yang kompleks, ada satu hal yang dimiliki permen Davos yang tidak dimiliki oleh permen lain: kenangan.