Sering Melihat Korban Gempa, Prasanti Widyasih Kembangkan Teknologi AI untuk Amati Ketahanan Bangunan di Indonesia
thedesignweb.co.id, Jakarta – Indonesia merupakan negara rawan gempa karena terletak di sepanjang Cincin Api Pasifik, tempat bertemunya tiga lempeng tektonik dunia. Seiring berjalannya waktu, teknologi telah berperan penting dalam mitigasi dampak gempa bumi. Perkembangan yang menarik adalah penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk mengetahui kerentanan bangunan terhadap gempa yang dinilai cepat dan aman.
Inovasi tersebut salah satunya dikembangkan oleh Prasanti Vidyasih Sarli, PhD, salah satu peneliti perempuan peraih L’Oréal-UNESCO For Women in Science (FWIS) Prize 2024. Dosen Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Bandung. Institut Teknologi (ITB) berharap inovasinya dapat membantu pemerintah merancang bangunan yang tahan terhadap gempa bumi dan bencana alam lainnya serta mengurangi risiko. hilangnya nyawa.
“Dengan teknologi pencitraan dan kecerdasan buatan, kita bisa mencoba mengidentifikasi banyak hal, bahkan dalam dunia medis. Jadi mengapa kita tidak mencoba menggunakan AI dalam bidang teknik sipil, terutama untuk membuat bangunan lebih tahan terhadap gempa?” jelasnya pada acara penganugerahan di sebuah hotel di Jakarta Pusat pada Senin, 11 November 2024.
Penelitian Prashanti bertujuan untuk mengurangi angka kematian akibat bencana alam, dengan fokus pada rumah-rumah yang berisiko runtuh akibat ketidaksiapan konstruksi. Wanita yang akrab disapa Asih ini mengatakan, gempa tersebut bukan penyebab utama jatuhnya korban jiwa, melainkan faktor perencanaan pembangunan yang buruk.
“Sekitar 90 persen kematian akibat bencana alam terjadi di negara-negara miskin dan berkembang. Oleh karena itu, kita lima kali lebih mungkin meninggal akibat bencana alam di negara-negara dengan kondisi lingkungan serupa jika kita tinggal di negara-negara miskin dan berkembang dibandingkan dengan negara-negara kaya.” jelas Asih.
Negara maju, menurut Asih, memiliki perencanaan dan desain bangunan yang baik serta didukung sumber daya yang memadai. Sebaliknya, negara-negara miskin dan berkembang biasanya kekurangan infrastruktur dan perencanaan yang memadai, sehingga meningkatkan kerentanan terhadap bencana alam.
Tantangan terbesar bagi negara-negara ini adalah terbatasnya data dan sumber daya, sehingga menghambat alokasi anggaran untuk bangunan yang lebih aman. Indonesia juga menghadapi tantangan besar dalam hal ini karena sebagian besar bangunan di Indonesia, khususnya di kota-kota besar, merupakan bangunan tempat tinggal yang mungkin dibangun tanpa standar konstruksi yang tepat. Hal ini membuat sulit untuk mengukur kerentanan bangunan-bangunan tersebut terhadap gempa bumi.
Mendeteksi suatu kerentanan tentu saja membutuhkan banyak waktu dan biaya. Namun Asihu dan timnya berhasil mengembangkan solusi inovatif: teknologi kecerdasan buatan (AI) yang dapat mengidentifikasi kerentanan hanya dengan menggunakan gambar bangunan.
Ia mengatakan, sebagai seorang insinyur sipil, ia merasakan panggilan moral untuk mengurangi jumlah korban jiwa dalam gempa apa pun. “Sebagai insinyur sipil, kami selalu merasa perlu melihat langsung bangunan-bangunan yang rusak akibat gempa. Kami ingin tahu bagaimana menguatkan masyarakat karena sedih melihat korban gempa setiap kali terjadi gempa,” kata Prasanti.
Dengan mengembangkan aplikasi kecerdasan buatan bersama rekan-rekan insinyur sipil, ia berharap dapat memberikan data yang lebih akurat dan pemetaan kerusakan bangunan guna memungkinkan perencanaan dan desain bangunan yang lebih aman. Sebagai seorang peneliti, Prasanthi menyadari tantangan yang dihadapinya, terutama dalam mencari validasi terhadap bidang penelitiannya.
“Sebagai peneliti, terkadang kita merasa seperti berjalan dalam kegelapan, bertanya-tanya apakah yang kita lakukan itu benar. Namun, dengan adanya program For Women in Science, saya merasa konfirmasinya mulai muncul secara bertahap. Ini memberi saya semangat baru untuk terus melangkah maju,” ujarnya.
Meski begitu, ia belum mengetahui kapan teknologi yang ia dan timnya kembangkan bisa diterapkan di Indonesia karena memerlukan waktu untuk mendapatkan persetujuan dari pemerintah dan pihak terkait lainnya.
“Masih dalam tahap pengembangan, meski kita sudah siap menerapkan teknologi ini. Tapi perlu proses agar bisa mengelolanya, apalagi menunggu keputusan pemerintah apakah akan diproduksi massal atau tidak,” jelasnya. . Asah. “Saya sendiri belum bisa memastikan kapan tepatnya, tapi penilaian pribadi saya kemungkinan besar akan dilaksanakan dalam lima tahun ke depan,” lanjutnya.
Selain Prasanti, program L’Oréal-UNESCO FWIS 2024 juga memberikan penghargaan kepada tiga peneliti Indonesia. Yaitu Della Rahmawati, Ph.D., Rahma Vikandari, Ph.D. dan Deliana Danum, Ph.D. Empat peneliti perempuan menciptakan solusi inovatif yang berfokus pada ketahanan pangan, energi berkelanjutan, dan ketahanan bencana. Mereka juga berhak mendapatkan dana penelitian sebesar Rp 100 juta per orang.
Direktur Pendidikan dan Kemahasiswaan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi, Profesor Sri Suning Kusumawardani mengucapkan terima kasih kepada L’Oréal Indonesia yang telah melaksanakan program ini. Ia mengatakan pembangunan berkelanjutan membutuhkan kontribusi dari setiap sektor, termasuk pengetahuan yang diperoleh para peneliti perempuan.
“Kami melihat karya para peneliti perempuan ini tidak hanya menunjukkan kemajuan ilmu pengetahuan, tetapi juga berperan penting dalam memecahkan permasalahan nasional dan berkontribusi pada agenda pembangunan nasional,” kata Suning kepada L’Oréal – UNESCO For. Upacara Penganugerahan Beasiswa Nasional Women in Science 2024 di sebuah hotel di Sudirman, Jakarta Pusat, Senin, 11 November 2024.
Sementara itu, Itje Chodija, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, mengatakan perempuan masih menghadapi beberapa tantangan dalam penelitian dan pengembangan, seperti akses terhadap lembaga penelitian dan pendanaan, serta stigma dan hambatan sosial, terutama dalam menjalankan peran ganda. baik sebagai ilmuwan maupun sebagai ibu, istri dan anggota keluarga.