Slamet Pribadi Ungkap Ada Dua Indikator Ukur Keberhasilan Pengguna Narkoba di Indonesia
thedesignweb.co.id, Jakarta – Pengamat hukum narkoba atau mantan Kepala Humas Badan Narkotika Nasional (BNN), Kompol (Purn) Slamet Pribadi mengatakan, ada indikator yang bisa mengukur keberhasilan penurunan pecandu narkoba.
Ia mengatakan, indikator pertama dapat dilihat dari berkurang atau permanennya jumlah pengguna narkoba.
“Kalau (jumlahnya) tetap (sama), apa artinya bagi kelompok lain yang sudah terbentuk, kalau misalnya pecandunya memang bertambah, kata Slamet Pribadi dalam acara Jadi Tahu di “Benang Kusut Narkoba”. ‘jaring di Indonesia’ oleh thedesignweb.co.id, Rabu 20 November 2024.
Indikator kedua, lanjutnya, apakah penegakan hukum semakin meluas atau tidak. Menurutnya, jika penegakan hukum sudah meluas namun masih banyak pengguna narkoba, maka tidak ada gunanya bagi biro narkoba tersebut.
“Ibarat gunung es, yang menahan hanya bagian atasnya saja. Tapi di bagian bawahnya masih banyak,” kata Slamet.
Bagi Slamet, tingkat keberhasilan melalui kedua indikator tersebut tidak hanya berlaku di Polri tapi juga BNN.
“Bukan hanya Polri saja, BNN juga,” jelasnya.
Slamet menyimpulkan, jika faktor-faktor di atas tidak menunjukkan hasil positif yang signifikan, maka dapat dikatakan pemerintah terkait tidak berhasil dalam memberantas pengguna narkoba.
“Apakah ada lebih banyak perdagangan manusia? Apakah lebih banyak orang yang ditangkap? Atau apakah jumlah pecandunya lebih sedikit atau lebih banyak?”
“Jika jumlahnya semakin banyak, berarti penindakan atau kegiatan yang selama ini digalakkan oleh pemerintah, kejaksaan, atau pejabat terkait tidak berhasil,” tutupnya.
Sebelumnya, mantan Kepala Humas BNN, Kompol (Purn) Slamet Pribadi, menyampaikan pandangannya terhadap upaya pembongkaran jaringan narkoba di Indonesia.
Dalam acara “Sehingga Anda Tahu” Benang Kusut Jaringan Narkoba di Indonesia pada Rabu, 20 November 2024, Slamet menyinggung teori Lawrence Friedman tentang tiga pilar utama bangunan hukum.
Saya bisa mengutip pendapat Lawrence Friedman, hukum itu didasarkan pada tiga hal, pertama penerapan hukum, kedua peraturan, dan ketiga budaya hukum, kata Slammet saat diwawancarai tim Liputan6 com.
Selain itu, Slamet juga menambahkan pandangan Profesor Satjipto Rahardjo yang menyebutkan pentingnya sarana dan prasarana untuk mendukung penegakan hukum.
Ia mengatakan, pemberantasan jaringan narkoba di Indonesia menghadapi tantangan besar, terutama terkait penegakan hukum.
Menurut Slamet, hingga saat ini masih sulit menyatukan persepsi antara polisi, BNN, jaksa, dan hakim dalam menangani kasus narkoba.
Penerapan hukum masih belum konsisten (karena) menyamakan persepsi antara polisi dan BNN serta jaksa dan hakim. Sejauh ini persepsi tersebut belum terpenuhi, kata Slamet.
Slamet juga menyoroti sekat-sekat antara pengguna dan penyalahguna narkoba, termasuk menentukan apakah seseorang layak direhabilitasi atau dikenakan hukuman.
“Sejauh ini kita belum menemukan prinsip gramatika yang spesifik bahwa seseorang cukup dipulihkan atau diperbolehkan, sejauh ini belum ada kesatuan pemahaman,” tambah Slamet.
Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyulitkan upaya pemutusan jaringan narkoba di Indonesia, padahal sudah ada aturan dan pedoman hukumnya, lanjutnya.
Slamet mengatakan, dengan aturan pemberantasan narkoba yang jelas, fokusnya kini beralih ke peran aparat penegak hukum dan implementasi di lapangan.
Ia juga menegaskan, aparat penegak hukum di lapangan masih bekerja dengan persepsi masing-masing yang seringkali dipengaruhi oleh kepentingan pribadi.
“Sekarang para operator, aparat penegak hukum di lapangan, selama ini masing-masing memandang sesuai dengan kepentingannya masing-masing,” kata Slamet.
Lebih lanjut, lanjutnya, tantangan pemberantasan narkoba berkaitan dengan budaya hukum, jika kita memaknai narkoba dalam pengertian konsumen dan masyarakat, jika seorang pengguna mengetahui dirinya kecanduan, namun mayoritas pengguna narkoba tidak mengetahui bahwa dirinya kecanduan.
“Hal ini sehingga perlu dikembangkan pendapat Lawrence Friedman dan Profesor Satjipto tentang hukum yang dikenakan karena 4 hal,” kata Slamet.
Jadi regulasi itu penerapan hukum, kemudian budaya hukum di masyarakat atau perilaku hukum di masyarakat, sarana dan pelaksana yang ada saat ini tidak simultan, tidak identik, tidak konstruktif secara universal, lanjutnya.
Slamet menilai, karena permasalahan narkoba sudah menjadi benang kusut yang tidak ada habisnya sehingga tidak sejalan dengan penegakan hukum. Kemudian, kata dia, bisa berujung pada aparat penegak hukum yang menjual obat sitaan.
“Aparat penegak hukum diam-diam menjual obat sitaan dan kemudian aparat kepolisian mencurigai adanya penyalahgunaan narkoba lainnya,” pungkas Slamet.