Bisnis

THE NEWS Tak Meratifikasi, Indonesia Tak Perlu Jadikan FCTC Tembakau sebagai Rujukan

thedesignweb.co.id, Jakarta Kontroversi kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dalam rancangan peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan belum terselesaikan. .

Pakar hukum Ali Ridho menyoroti pendekatan serupa dalam merumuskan kebijakan kemasan rokok tidak bermerek dalam RPMK dengan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Berdasarkan analisis tersebut, kesamaan pendekatan yang cenderung menerapkan kebijakan internasional terlihat pada banyak pasal di PP 28/2024 dan RPMK, khususnya mengenai standarisasi kemasan produk tembakau yang mendorong penerapan kemasan rokok sederhana tanpa merek. .

Padahal, kata dia, Indonesia belum meratifikasi FCTC, apalagi mengingat Indonesia sebagai negara produsen tembakau. Sedangkan negara lain yang menjadi contoh regulasi, tidak memiliki pertanian atau produksi tembakau seperti Indonesia, sehingga hanya mereka negara yang memimpin regulasi global. Oleh karena itu, ia menilai PP 28/2024 dan RPMK berpotensi merugikan banyak sektor di Tanah Air.

“FCTC itu haram hukumnya dijadikan acuan. Kalau dibilang ini hasil kreativitas, maka buktikan sesuai aturan yang ada. Tapi kalau aturannya bertentangan berarti mengacu pada FCTC. Dan merupakan pelanggaran konstitusi,” jelasnya pada media dinner yang digelar Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), dikutip Minggu (6/10/2024).

Mengutip teori dalam buku Perang Nikotin, Ali Ridho juga menyatakan bahwa regulasi yang mereduksi industri tembakau biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain intervensi antar negara dan intervensi sektor kesehatan dan farmasi. Dalam konteks RPMK, dia menduga kuat adanya pengaruh industri farmasi global yang mendorong Kementerian Kesehatan menerapkan FCTC.

“Kalau kita tanya apakah ini intervensi? Berdasarkan jurnal kita lihat ini bisa jadi intervensi farmasi global. Dengan melihat minat dan sebagainya,” imbuhnya.

 

 

 

Selain itu, Ali Ridho juga menyarankan agar dalam proses pembentukan peraturan seperti RPMK, Kementerian Kesehatan sebaiknya berkoordinasi dengan kementerian terkait untuk mendapatkan data yang lebih komprehensif mengenai dampak peraturan tersebut terhadap industri tembakau. Sayangnya, hal ini dipertanyakan oleh para ahli hukum.

Ali Ridho juga menanyakan apakah Kemenkes berkoordinasi dengan kementerian lain, karena pengaruhnya sangat besar. Sebab tanpa koordinasi, proses pembentukan peraturan dianggap bermasalah.

“Industri tembakau dampaknya akan terasa dari hulu hingga hilir sehingga perlu ada koordinasi, sehingga kita harus bertanya kepada Menteri Kesehatan apakah proses pembentukan RPMC ini terkoordinasi atau tidak? Prosesnya bermasalah,” katanya.

 

Secara umum, Ali Ridho menekankan pentingnya merumuskan kebijakan yang berdasarkan undang-undang yang jelas dan tidak mengecualikan sektor-sektor perekonomian penting seperti industri tembakau.

Lebih lanjut, ia menolak keras penerapan RPMK yang mengadopsi FCTC sebelum ratifikasi resmi dan menilai kebijakan tersebut berpotensi merugikan negara, terutama dari sisi pendapatan nasional dan lapangan kerja di sektor tembakau serta ekosistem terkait. Industri. Selain itu, aturan tersebut memuat ketentuan kemasan polos tanpa branding yang banyak ditolak oleh berbagai pihak.

Kesimpulannya, penerapan FCTC adalah ilegal, katanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *