Tragis! Anak Indonesia Kekurangan Vitamin D di Tengah Sinar Matahari Melimpah
Liputan6.com, Jakarta – Hasil penelitian terbaru dari Survei Gizi Asia Tenggara (SEANUTS) Indonesia 2022 yang dipimpin oleh Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof. Dr. Dr. Rini Sekartini, Sp.A(K) menunjukkan sekitar 18,6 persen anak di Indonesia mengalami kekurangan vitamin D?
Sebagai negara tropis yang memiliki banyak sinar matahari sepanjang tahun, fakta ini merupakan sebuah ironi yang mencengangkan. Kekurangan vitamin D pada anak berdampak serius pada pertumbuhan tulang, daya tahan tubuh, serta perkembangan fisik dan mental.
Di sisi lain, persentase anak stunting atau stunting justru menurun dari 28,4 persen menjadi 28 persen. Namun kasus obesitas justru meningkat hingga mencapai 3,8%. Fenomena ini menunjukkan adanya ketimpangan pemenuhan gizi dan gizi anak di Indonesia. Mengapa anak Indonesia kekurangan vitamin D?
Prof. Rini menjelaskan, tingginya kekurangan vitamin D di Indonesia sebenarnya disebabkan oleh berbagai kebiasaan dan faktor lingkungan. “Paparan sinar matahari yang ideal untuk sintesis vitamin D terjadi sekitar jam 9 hingga jam 10 pagi,” ujarnya baru-baru ini di Jakarta.
Namun pada jam-jam tersebut, anak-anak Indonesia seringkali berada di dalam rumah, terutama anak-anak di perkotaan yang sibuk dengan aktivitas sekolah.
Akibatnya, mereka tidak mendapatkan cukup sinar matahari langsung yang dibutuhkan tubuh untuk memproduksi vitamin D secara alami.
Selain itu, kebiasaan berpakaian masyarakat Indonesia juga berdampak pada rendahnya paparan sinar matahari pada kulit anak.
Prof. Rini mengatakan, “Banyak orang tua yang membungkus anaknya dengan pakaian ketat saat keluar rumah, padahal paparan kulit langsung terhadap sinar matahari sangat penting untuk produksi vitamin D.”
Bahkan di perkotaan yang aktivitas luar ruangannya terbatas, anak-anak jarang mendapat kesempatan terkena sinar matahari.
Studi SEANUTS II juga mengungkapkan bahwa asupan makanan anak di Indonesia masih jauh dari standar yang dianjurkan.
Prof. Rini mengatakan, 70% anak kekurangan energi, 80% kekurangan protein, dan 77% kekurangan zat gizi mikro penting seperti kalsium dan vitamin D. Kekurangan ini bisa diatasi dengan memperbanyak asupan susu saat sarapan.
Lebih lanjut ia menjelaskan, anak yang minum susu untuk sarapan pagi mendapat asupan kalsium 2,6 kali lebih tinggi dan asupan vitamin D 4,4 kali lebih tinggi dibandingkan anak yang tidak mengonsumsi susu.
Padahal data menunjukkan bahwa hanya sekitar 16% anak-anak di Indonesia yang memasukkan produk susu ke dalam menu sarapannya.
“Angka ini menjadi bukti pentingnya edukasi tentang manfaat susu untuk memenuhi kebutuhan vitamin D dan kalsium anak,” imbuhnya.
Sebagai solusinya, Prof. Rini menyarankan agar orang tua lebih memperhatikan kebutuhan vitamin D anak dengan cara sederhana.
Selain memperbanyak konsumsi susu, orang tua juga bisa mengajak anak beraktivitas di luar ruangan pada pagi hari agar bisa terkena sinar matahari.
“Berjemur di pagi hari atau bermain di luar dengan pakaian yang tidak terlalu menutupi tubuh saja sudah sangat membantu,” ujarnya.
Kajian SEANUTS juga menyoroti kebiasaan sarapan anak di Indonesia yang dinilai masih kurang optimal. Hanya 32 persen anak usia 2-12 tahun yang rutin sarapan.
Ya, kata Prof. Rini, sarapan mempunyai peranan penting dalam menunjang aktivitas belajar dan konsentrasi mereka di siang hari. “Sarapan berfungsi sebagai sumber energi utama anak untuk beraktivitas dan belajar. Namun, rendahnya konsumsi sarapan pada anak berpotensi memperparah risiko kekurangan gizi. “.
Data juga menunjukkan hanya 16 persen anak yang memasukkan susu atau produk susu ke dalam menu sarapannya. Faktanya, susu merupakan sumber kalsium dan vitamin D yang direkomendasikan sebagai bagian dari sarapan sehat.