Lifestyle

Wajib Halal Resmi Berlaku 17 Oktober 2024, Apa Sanksi bagi Pengusaha Makanan dan Minuman yang Abai?

thedesignweb.co.id, Jakarta – Sesuai amanat PP 39 Tahun 2021, kewajiban sertifikasi halal terhadap produk yang masuk, beredar, dan diedarkan di Indonesia mulai berlaku pada 17 Oktober 2024 untuk produk makanan, minuman, pemotongan daging, dan produk daging mentah. bahan tambahan, bahan tambahan, makanan dan eksipien makanan dan minuman. 

Muhammad Akil Irham, Kepala Badan Jaminan Produk Halal (BPJPH), menyatakan berdasarkan data SIHALAL, jumlah produk bersertifikat halal melebihi 5,38 juta pada 15 Oktober 2024. Selain itu, jumlah LPH yang terakreditasi sebanyak 79 LPH dan jumlah LP3H yang terdaftar sebanyak 269 LP3H, didukung lebih dari 108.000 pendamping pengolahan halal.

Keberadaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal kemudian digantikan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Perppu Penciptaan Lapangan Kerja dan Keputusan Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Penciptaan Lapangan Kerja. Pemerintah Republik Kazakhstan Nomor 39 Tahun 2021 “Tentang Penciptaan Lapangan Kerja” ditegaskan. Jaminan Produk Halal menjadi landasan “undang-undang baru yang akan membawa perubahan radikal terhadap kebijakan dan pelaksanaan sertifikasi Halal,” kata Akil dalam acara TOP Halal Awards 2024 di Jakarta, Rabu, 16 Oktober 2024.

Dengan adanya perubahan peraturan dari bersifat sukarela menjadi wajib, terdapat konsekuensi bagi para pengusaha khususnya makanan dan minuman di Indonesia yang mengabaikan peraturan tersebut. Evrin Lutfika, direktur riset pemasaran IHATEC, mengatakan sanksi yang dijatuhkan akan berbeda-beda tergantung tingkat kesalahannya.

Sanksi pertama berupa teguran tertulis kepada pelaku usaha. Pada periode tersebut, pelaku usaha diberikan batas waktu tertentu untuk segera memenuhi persyaratan halal. Jika diabaikan, badan usaha akan dikenakan denda administratif. Sanksi yang paling berat adalah penarikan barang atau hasil produksinya dari peredaran.

Meski demikian, pemerintah mengingkari kewajiban dan implikasi halal terhadap usaha mikro dan kecil. Mereka diperpanjang hingga 2026. 

Sehubungan dengan itu, BPJPH melaksanakan Program Percepatan Sertifikasi Halal dengan tetap melaksanakan Program Sertifikasi Halal (SEHATI) melalui Sistem Sertifikasi Halal melalui deklarasi atau deklarasi mandiri oleh pelaku usaha. Resolusi ini akan dilaksanakan pertama kali melalui kerangka APBN untuk usaha mikro dan kecil pada akhir tahun 2021.

“Pada tahun 2024, BPJPH menargetkan memberikan satu juta sertifikat halal gratis kepada usaha mikro dan kecil (UKM) di Indonesia melalui program SEHATI, Insya Allah pada tahun 2025 akan kita lanjutkan,” kata Akil.

“Sistem ini (deklarasi mandiri) diharapkan dapat mempermudah proses sertifikasi bagi seluruh badan usaha, sehingga tidak ada alasan untuk mengabaikan kewajiban ini,” tambah Evrien.

Namun, terdapat kesenjangan yang perlu diatasi oleh pemerintah dalam hal mekanisme deklarasi mandiri. Kasus terakhir, yaitu memberikan produk dengan nama yang diperlukan untuk memperoleh sertifikat halal produk, menunjukkan rentannya deklarasi mandiri.

Sekretaris Panitia Fatwa MUI Miftahul Huda khawatir fasilitas itu dimanfaatkan oknum pengusaha karena hanya ada satu orang yang memeriksa dan memvalidasi klaim pengusaha. Belum lagi, pelatihan asisten proses belum setinggi auditor halal.

“Sebenarnya sulit untuk membatasi di lapangan, karena terkadang produk saya bilang sederhana, namun kenyataannya hanya bisa ditentukan melalui pemeriksaan dan validasi satu orang,” kata Miftah.

 

Pada saat yang sama, Akyl mengingatkan bahwa produk halal penting tidak hanya dari segi agama, tetapi juga dari segi merek produk dan nama perusahaan. Dalam dunia bisnis, merek yang baik dan dikenal luas merupakan suatu aset yang sangat berharga. Salah satu faktor yang mempengaruhi branding produk adalah citra produk, termasuk status kehalalan produk.

Seiring dengan semakin pahamnya masyarakat akan pentingnya produk halal, maka semakin banyak pula konsumen yang mencari dan memilih produk halal. Bagi produsen atau badan usaha, memperoleh sertifikasi halal merupakan hal yang penting untuk menjamin kualitas kehalalan produk manufaktur dan memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin sadar halal.

Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH Maruf Amin merumuskan kebijakan yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai produsen produk halal terbesar di dunia pada tahun 2024. Kebijakan ini dinilai sebagai salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi untuk mewujudkan visi negara maju. Indonesia,” ujarnya. 

Evrin pun menyetujui hal tersebut. Menurutnya, sertifikasi halal sudah menjadi kebutuhan pasar bahkan sebelum menjadi keharusan. “Pengusaha besar yang ingin mengekspor atau bekerjasama dengan perusahaan halal pasti membutuhkan sertifikat ini,” lanjut Evrin.

Evrin mengatakan tantangan terbesarnya adalah peraturan yang selalu berubah dan ketersediaan bahan baku. Misalnya, jumlah rumah potong hewan (RPH) bersertifikat halal yang masih terbatas dan bahan baku halal yang diimpor belum banyak. Namun, komitmen wajib halal masih dalam tahap pengembangan.

“Komitmen para pelaku usaha sangat penting. Mereka harus memahami bahwa sertifikasi halal tidak hanya sekedar kepatuhan terhadap regulasi, tetapi juga memenuhi kebutuhan konsumen yang lebih sadar akan produk halal,” kata Evrin.

Evrin juga menyampaikan bahwa sejak tahun 2017, IHATEC fokus pada pengembangan produk halal melalui pelatihan dan konsultasi di bidang halal, termasuk pelatihan keamanan pangan dan perizinan. Pada tahun 2021, IHATEC juga akan mulai menerbitkan buku dan jurnal Halal Review. IHATEC berencana untuk mengembangkan unit bisnis lain di masa depan dengan selalu mengutamakan produk halal.

“IHATEC berperan dalam membangun sumber daya manusianya sendiri. Kami melatih penyedia halal yang merupakan perwakilan perusahaan secara online dan offline. Biasanya kami menawarkan paket yang dibundel dengan uji kompetensi,” kata Evrin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *