Berita

Wakil Ketua Baleg DPR Pertanyakan Kata "Perampasan" pada RUU Perampasan Aset

thedesignweb.co.id, Jakarta, Wakil Ketua Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (RRC) Republik Indonesia (RI), Ahmad Doli Kurnia mempertanyakan perlunya penggunaan diksi “penyitaan” dalam RUU Properti. Diketahui, RUU tersebut kini sedang diajukan untuk dimasukkan dalam program legislasi nasional pada tahun 2025.

“Sebenarnya saya harus bertanya kepada teman-teman pengacara saya, lucu sekali kalau dilihat, apakah diksi ‘prasangka’ seperti tindakan prasangka itu baik untuk negara ini? Kalau kita berhadapan dengan orang yang disita setiap hari, saya bertanya-tanya apakah itu bagus atau tidak?” kata Doli, Kamis (31/10/2024).

Menurut Dolin, diksi yang digunakan saat ratifikasi Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) bukanlah “penyitaan” melainkan pemulihan atau pengembalian aset curian.

“Pemulihan harta curian itu bahasa UNCAC ya. Kalau recovery berarti memulihkan. Lalu kenapa kita memilih kata pengambilalihan dan bukan recovery seperti yang tercantum dalam UNCAC?” Doli Dedi.

Politisi Partai Golkar itu mengatakan, Baleq DPR ingin mendapat pendapat ahli apakah perlu menggunakan kata “pengambilalihan” dalam RUU tersebut.

“Jadi bagi yang menyarankan pencatatan aset, nanti kami sampaikan. Berdasarkan judul saja, tetap tidak boleh menggunakan preplay,” kata Doli.

Sebelumnya, Badan Legislatif (Baleg) DPR RI menggelar rapat perdana untuk menyetujui Agenda Baleg Tahun 2024-2029. Prioritas Baleg adalah penyiapan rancangan undang-undang yang masuk dalam program legislatif nasional. Diketahui, RUU Perampasan Aset belum masuk dalam program legislasi nasional.

Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan kewajiban mengganti kerugian negara akibat terungkapnya tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). RUU pencatatan real estat dirancang untuk lebih memperkuat upaya ini.

“Ya, kita sekarang punya bukti bahwa kita punya badan pemulihan. Ya jelas. Kita punya badan pemulihan, jadi bisa dijelaskan. Komitmen kita apa? Komitmen kita kuat sekali,” ujarnya . Kejaksaan Agung Harley Siregar di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Senin (14/10/2024).

“Iya, kalau undang-undang itu bisa disahkan, saya kira akan lebih kuat ya,” lanjutnya.

Harley mengaku Indonesia belum mengetahui sejauh mana RUU perampasan aset telah dibahas di DPRK. Namun Badan Pemulihan Aset (BPA) menjalankan tugas dan fungsinya untuk menyelamatkan keuangan negara.

“Iya menurut saya akan terus berlanjut, apa pun kebijakan pemerintahnya. Dan saya tidak tahu sekarang di mana, betul, tapi masih berlanjut sampai sekarang,” kata Harley.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Supratman Andi Agtas mengatakan pemerintah akan memperkenalkan kembali Rancangan Undang-Undang Pertolongan Aset (RUU) 2025 ke DPR RI. Meski RUU ini sudah beredar sejak tahun 2012, namun hingga saat ini belum pernah diperdebatkan.

“Kita lihat saja, karena kita belum menyiapkan prolegnas. Untuk masuk ke pembahasan prolegnas, dilanjutkan dengan Presiden akan kita hubungi lagi setelah dia tidak melakukannya,” kata Andi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kuningan, Selatan. Jakarta, Rabu (18/9/2024).

Menurut Andi, saat ini pemerintah sedang mempertimbangkan apakah akan tetap mengajukan undang-undang pemalsuan aset ke DPR RI dalam program legislasi nasional atau Prolegnas 2025. “Itu yang sedang kita bicarakan saat ini,” kata Andi.

Hal itu dibahas anggota DPR 2024-2029

Ahmed Sahroni, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, mengatakan rancangan undang-undang tentang penyalahgunaan aset (RUU) kemungkinan akan dibahas pada masa jabatan DPR RI berikutnya.

Meski Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta RUU tersebut segera diselesaikan, Sahroni menjelaskan sisa waktu sidang DPR RI 2019-2024 sangat terbatas.

“Masa uji coba ini tinggal beberapa hari lagi, jadi mungkin saja pada masa uji coba berikutnya, pada periode baru,” kata Sahroni di Universitas Borobudur, Jakarta, Minggu (9/8/2024).

Sahroni diketahui mendapat gelar doktor dari Universitas Borobudur dengan tesis tentang korupsi. Menurut dia, tindakan penahanan tersebut tidak akan efektif memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

Oleh karena itu, ia menilai prinsip pemulihan maksimal harus diterapkan dalam kasus korupsi agar pemulihan kerugian masyarakat bisa maksimal. Namun, kata dia, penyitaan aset dan upaya penggantian kerugian negara adalah dua hal yang berbeda.

Lebih lanjut, ia meyakini tindak pidana korupsi masih terjadi dimana-mana. Menurut dia, yang harus dilakukan adalah meminimalisir kerugian negara, sekaligus memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan.

Setidaknya satu strategi (tesis) untuk melakukan ini, mungkin 5-10 tahun ke depan teman-teman akan mencoba, undang-undang menekankan pada proses Remedium yang pamungkas, kata Antara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *