Walhi Gorontalo Serukan Wujudkan Reforma Agraria dari Perusahaan Ekstraktif
thedesignweb.co.id, Gorontalo – Menjelang Hari Tani (HTN) 2024, ketimpangan penggunaan lahan di Indonesia kembali muncul. Situasi ini menunjukkan pemerintah bersikap netral terhadap rakyat dan mengutamakan kepentingan investor dan industri.
Secara nasional, luas lahan yang dikuasai perusahaan adalah 114 juta hektar atau 60 persen dari total luas lahan Indonesia, sedangkan lahan pertanian rakyat seluas 21,6 juta hektar atau 11,4 persen.
Provinsi Gorontalo juga tidak terkecuali dalam hal ini. Badan hukum dan perusahaan, termasuk pertambangan, kehutanan, dan energi (HTE), serta badan usaha milik negara, memiliki lahan seluas 424.768 hektare atau 35 persen luas lahan Gorontalo. Ketimpangan ini semakin besar mengingat hanya budidaya jagung yang dikuasai perusahaan, baik langsung maupun tidak langsung.
Defri Sofyan, Dinamisator Simpul Walhi Gorontalo mengatakan, “Jika lahan jagung diperhitungkan, maka perusahaan menguasai lahan seluas 759.713,52 hektar atau 63% dari luas lahan Gorontalo.”
Kawasan hutan Gorontalo juga mengalami tekanan yang besar. Dari 764.186,76 hektare kawasan hutan, sebanyak 314.300,3 hektare atau 41 persen dimiliki oleh kepentingan HTE.
Sebaliknya hutan sosial yang dikelola masyarakat hanya seluas 31.293,85 hektar atau sekitar 4%, ujarnya.
Permasalahan ini diperburuk dengan eksploitasi dan pemanfaatan kawasan hutan untuk pertambangan dan pertanian, seiring dengan semakin menyusutnya luas wilayah yang dikuasai manusia.
Perbedaan kepemilikan tanah ini berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat. Kebanyakan petani di Gorontalo mempunyai lahan yang sangat sedikit. Berdasarkan Sensus Pertanian tahun 2013, terdapat 117.248 rumah tangga dan 40.959 keluarga petani kecil, hampir sama dengan jumlah keluarga petani yang memiliki luas lebih dari setengah hektar.
Sementara itu, selama 114 dari 175 bulan Januari 2008 hingga Juli 2022, Nilai Tukar Petani Gorontalo (NTP-P) berada di bawah 100, menandakan petani mengalami kerugian besar. “Iya, angka kemiskinan di Gorontalo selalu tinggi, mencapai 15,77 persen dalam sembilan tahun 2013 hingga 2021, dan turun menjadi 14,57 persen pada Maret 2024,” tambah Defri.
Ketimpangan ini menimbulkan risiko konflik, baik secara vertikal maupun horizontal, ketika masyarakat kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. Selain itu, Defri menyebut dampak terhadap lingkungan juga tidak serius. Degradasi ekosistem pesisir seperti mangrove terus meningkat. Pada tahun 2013, Provinsi Gorontalo memiliki luas hutan mangrove sebesar 12.832 hektar, namun pada tahun 2016 luasnya menurun menjadi 9.298 hektar.
Alasan utamanya adalah penebangan lahan tambak, yang secara mengejutkan memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah, padahal tambak tersebut terletak di hutan lindung dan satwa liar Panua. “Konflik antara pemilik tambak dan nelayan tidak bisa dihindari karena adanya perebutan lahan,” tegasnya.
Menghadapi permasalahan tersebut, Walhi Gorontalo mengimbau para calon kepala daerah yang akan mengikuti Pilkada 2024 tidak mengabaikan isu terkait kesetaraan lahan dan kerusakan lingkungan.
Selain bersifat vokal, komitmen politik juga harus memperbaiki tata kelola permukiman secara adil dan berkelanjutan.
Inilah lima Walhi Gorontalo:
1. Menghentikan pemberian izin usaha baru kepada organisasi kehutanan.
2. Membagi-bagikan tanah perusahaan kontrak kepada rakyat, sesuai dengan kewajiban undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Pertanian.
3. Melarang lembaga perizinan yang memiliki kepentingan HTI yang melemahkan tata kelola publik dan merupakan solusi transisi yang palsu.
4. Calon ketua lingkungan harus berkomitmen memperbaiki tata kelola perumahan, tidak hanya sekedar mencari suara.
5. Ketahui sekarang reformasi pertanian yang sebenarnya.
Meskipun kesenjangan masih terlihat, Provinsi Gorontalo memerlukan kebijakan yang adil dan mendukung untuk menghindari konflik properti dan bencana lingkungan.